Asy-Syaukani dan Karyanya
Asy-Syaukani dan Tafsir ‘Fathul Qadir’
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas sekaligus untuk
dipresentasikan
Mata Kuliah: Manahij al-Mufassirin
Dosen Pengampu: Dr. Hasan Asy’ari Ulama’i, M. Ag
Oleh:
AHMAD ZAMRONI
NIM: 1500088022
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perbincangan rasionalitas selalu
menarik utk dikaji, dari tulisan dan sistematika yang bermula dari tulisan
Harun Nasution, kemudian marak dipakai untuk meninjau sejauh mana latar
belakang penulis dan anutan madzhabnya dalam percikan penafsiran yang dipakai
dalam menungkap makna terdalam dari mutiara al-Qur’an.
Al-Syaukânî (1172 H.-1250
H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang lahir dari latar belakang lingkungan
pembaharu dan berfikir maju dalam tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18
M.) dan memasuki awal abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78
tahun, al-Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath
al-Qadîr adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental.
Al-Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang
ulama yang terkenal di Yaman.
Ketekunan al-Syaukani dalam
belajar dan membaca telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu,
dalam usia yang masih relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh
masyarakat kota San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan,
sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup. Lalu, pada usia kurang tiga
puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri dalam
mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya. [1]
Dengan demikian, kami akan membahas
mengenai Imam Asy-Syaukani serta salah satu karyanya, yaitu Tafsair Fathul
Qadir. Dengan harapan makalah ini dapat membantu pembaca dalam menambah
wawasan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Imam Asy-Syaukani?
2. Bagaimana Tafsir Imam Asy-Syaukani?
BAB II
Pembahasan
A. Imam Asy-Syaukani
a. Biografi Imam Asy-Syaukani
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Badruddin Muhammad bin Ali
bin Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan Asy-Syaukani, dikenal dengan nama Imam
Asy Syaukani rahimahullah. Imam Asy-Syaukani rahimahullah
dilahirkan pada hari senin, tanggal 28 bulan Dzulqa’dah tahun 1173 H di Hijrah
Syaukan, ketika itu jaraknya 1 hari perjalanan dari San’a di Yaman.
Ayahnya adalah seorang ulama. Sang ayah merawat dan menjaga anaknya agar selalu
berada di dalam koridor keilmuan sejak usia dini.
Pertama-tama, Imam Asy-Syaukani menyelesaikan hafalan
Al-Quran, kemudian setelah itu menghafal berbagai matan dan prinsip-prinsip
keilmuan yang beragam. Selepas itu, Imam Asy-Syaukani pindah ke ibukota Sana’a
untuk menimba ilmu dari para syaikh dan ulama. la tidak pernah absen mengikuti
kajian Ibnu Muthahhir Al-Qabili rahimahullah selama kurang-lebih 13
tahun, dan lulus darinya dengan menguasai berbagai cabang keilmuan. Imam
Asy-Syaukani juga mendalami ilmu hadits, tafsir, dan mushthalah hadits kepada Syaikh
Abdul Qadir Al-Kaukabani rahimahullah. la mendapatkan banyak ilmu
darinya. Selanjutnya ia berinteraksi dan berguru dengan ulama besar pada
masanya, yaitu Imam Ash-Shan’ani rahimahullah. Dari Imam Ash-Shan’ani,
Asy-Syaukani mendapatkan ilmu yang berlimpah, mengikuti konsepnya, dan meniti
metodenya, sehingga ia menjadi salah seorang murid unggulannya.[2]
Imam Asy-Syaukani berpindah dari satu pengajian ilmu ke
pengajian lainnya di Sana’a. Setiap ulama atau syaikh yang beliau datangi dan
duduk di majelis tersebut. Beliau mneghimpun seluruh ilmu dari ulama di zamannya,
sehingga wawasan dan keilmuannya sangat luas, dan beliau menjadi Imam pada
masanya yang menjadi rujukan masyarakat dan empat tujuan para pencari ilmu dari
negeri-negeri yang jauh; India, Daulah Utsmani, dan Dagestan. Tidak terhitung
orang-orang yang menimba ilmu darinya.
Pada tahun 1209 H, petinggi hakim Yaman, Yahya
Asy-Syajari As-Sahuli meninggal dunia. Para penguasa di Yaman tidak mendapatkan
ulama yang lebih utama daripada Imam Asy-Syaukani. Saat itu, Asy-Syaukani sibuk
mengajar berbagai ilmu ijtihad, mengeluarkan fatwa, dan menyusun karya. la
jarang bergaul dengan orang-orang, tak terkecuali dengan para pejabat pemerintahan.
Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki kedekatan dengan Imam
Asy-Syaukani. Ketika mereka memintanya untuk menduduki jabatan hakim, Imam
Asy-Syaukani pada awalnya menolak. Akan tetapi, atas desakan pemerintah
kepadanya, permintaan para ulama dan syaikh, serta keinginannya untuk
menyebarkan As-Sunnah, memberangus bid’ah, dan berdakwah menyeru masyarakat ke
jalan As-Salaf Ash-Shalih, akhirnya ia menerima jabatan hakim itu, setelah
mempertimbangkan bahwa jika dirinya menolak maka salah seorang ulama su’
(buruk) akan menduduki jabatan itu.[3]
b. Karya-Karya Imam Asy-Syaukani
Imam Asy-Syaukani meninggalkan kekayaan intelektual
ilmiyyah berupa karya-karya yang mencapai sekitar 278 judul di berbagai cabang
keilmuan. Kebanyakan dari karya itu masih berbentuk manuskrip yang meniscayakan
tekad dan semangat baja untuk emperkenalkannya, agar bisa dimanfaatkan
oleh orang banyak. Akan tetapi, berkat kebaikan Allah -Subhanahu Wa Ta’ala- , kitab-kitabnya
yang terpenting dan popular dapat dicetak. Popularitas kitab-kitab itu
sangat terkenal.Di mana tidak ada satu pun dari negeri muslim dan forum
pengajaran keilmuan yang tidak melibatkan karya-karya Imam Asy-Syaukani.
Di antara karya-karyanya yang terkemuka adalah:
1. Fathul Qadir yang merupakan kitab tafsir yang sangat
bernilai.
2. Al-Fawa’id Al-Majmu‘ah fi Al-Ahadits Al-Maudhu’ah. Ia
menyempurnakan kitab ini yang merupakan karya para ulama terdahulu semisal Ibnu
al-Jauzi, Al-’Iraqi, dan As-Suyuthi. la meluruskan kesalahan-kesalahan yang
mereka buat di dalamnya.
3. Nail Al-Authar Syarh Muntaqa
Al-Akhbar yang menjadi kitabnya yang paling terkenal dan paling penting. Kitab
ini menjadi referensi utama bagi setiap pencari.
4. As-Sail Al-Jurar Al-Mutadaffiq
‘ala Hada’iq Al-Azhar. Sebuah kitab yang di dalamnya Imam Asy-Syaukani
mengkritik Madzhab Syiah Zaidiyah dan mewariskan konklusi-konklusi ijtihadnya.
Kitab ini menjadi kitab terbaik dalam studi fikih perbandingan.
5. Irsyad Al-Fuhul, sebuah kitab
dalam bidang ushul fikih.
6. Tuhfah Adz-Dzakirin.
7. Al-Fath Ar-Rabbani min Fatawa
Al-Imam Asy-Syaukani.
8. Wabl Al-Ghamam ‘ala Syifa
Al-Awam fi Naqdhi Madzhab Az-Zaidiyyah.
9. Al-Badr Ath-Thali’ bi Mahasin min
ba’di Al-Qarn As-Sabi’, merupakan salah satu kitab biografi penting yang
bermanfaat. Selain itu semua, Imam Asy-Syaukani juga menulis banyak risalah
fikih beragam dan menerangkan risalah-risalah tentang hadits di sejumlah
pembahasan keilmuan.
10. dan kitab-kitab lainnya yang
bermanfaat.[4]
B. Pandangan ulama Terehadap Imam Asy-Syaukani
Pujian Ulama terhadap Asy
Syaukani rahimahullah
Al-Allamah Husain As-Saba’i Al-Anshari rahimahullah berkata, “Asy-Syaukani adalah pemimpin para imam; mufti umat; lautan ilmu; mentari kecerdasan; sandaran para mujtahid dan ahli hadits; ksatria makna dan lafadz; tiada tandingannya di zamannya; guru besar Islam; sosok pandai pada zamannya; penerjemah hadits dan Al-Quran; tokoh zahid; hamba saleh tiada tanding; penghancur pelaku bid’ah; pemimpin orang-orang bertauhid; mahkota orang-orang yang mengikuti sunnah; pemilik karya-karya yang belum pernah ada sebelumnya; petinggi para hakim Ahlussunnah wal Jamaah, syaikh riwayat; pemerhati sanad; pionir dalam ranah ijtihad; penelaah hakekat-hakekat dan sumber-sumber syariat; pandai dalam mengungkap hal-hal samar dan maksud-maksudnya.”
Al-Allamah Husain As-Saba’i Al-Anshari rahimahullah berkata, “Asy-Syaukani adalah pemimpin para imam; mufti umat; lautan ilmu; mentari kecerdasan; sandaran para mujtahid dan ahli hadits; ksatria makna dan lafadz; tiada tandingannya di zamannya; guru besar Islam; sosok pandai pada zamannya; penerjemah hadits dan Al-Quran; tokoh zahid; hamba saleh tiada tanding; penghancur pelaku bid’ah; pemimpin orang-orang bertauhid; mahkota orang-orang yang mengikuti sunnah; pemilik karya-karya yang belum pernah ada sebelumnya; petinggi para hakim Ahlussunnah wal Jamaah, syaikh riwayat; pemerhati sanad; pionir dalam ranah ijtihad; penelaah hakekat-hakekat dan sumber-sumber syariat; pandai dalam mengungkap hal-hal samar dan maksud-maksudnya.”
Al-Allamah Al-Bahkali rahimahullah
mengatakan tentangnya, “la adalah hakim banyak ulama; guru besar Islam; ahli
tahqiq (telaah) yang cendekia; seorang imam; raja para ulama; pemimpin dunia;
penutup para ahli hadits tanpa diperdebatkan lagi; AI-Hujjah; kritikus sanad;
tokoh yang wara’; pelakon kebenaran dengan kekuatan jiwa dan ketegasan
lisan.”Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah menuturkan, “la
menguasai seluruh pengetahuan; orang yang pro dan kontra sepakat atas
penelaahannya. ialah salah satu orang yang bisa dihitung dengan jari jari dalam
ilmu-ilmu ijtihad; pemenang dalam hal pengetahuan terhadap perkara-perkara
syariat yang samar; memiliki banyak karya mumpuni lagi menyenangkan, berguna,
dan bermanfaat.”
Imam Abdul Hayyi Al-Kattani rahimahullah
menyebutkan, “la seorang imam; penutup ahli hadits di belahan timur; tokoh
cendekia; peneliti; pakar ijtihad; dan seorang hakim. la seumpama tahi lalat di
wajah abad yang silam; air bah di kening masa; meniti manhaj keilmuan yang
banyak orang sebelumnya buta akan hal itu; dianugerahi kelancaran pena dan
kepemimpinan yang belum pernah digoreskan pena lainnya. la merupakan salah satu
kebanggaan negeri Yaman, dan bahkan bangsa Arab.”
Sayyid Abdurrahman bin Al-Ahdal rahimahullah
menyatakan, “Pemimpin pada era kami dalam seluruh bidang keilmuan; orator pada
era kami dalam menjelaskan segenap hakekat kata-kata dan makna-makna;
Al-Hafizh; Al-Musnid; Al-Hujjah, pemberi petunjuk dalam menerangkan
sunnah-sunnah Nabi Muhammad secara gamblang; kemuliaan Islam; ialah Muhammad
bin Ali Asy-Syaukani.”
Dalam kesempatan lain,
Al-Allamah Al-Kattani juga berkata tentang Imam Asy-Syaukani, “Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menganugerah imam ini tiga hal yang aku tidak tahu apakah
hal-hal itu terhimpun pada orang lain di zaman penghujung ini. Pertama,
keluasan ilmu dengan beragam jenis dan macamnya. Kedua, banyak murid yang
pandai menelaah dan berwawasan luar biasa. Tiga, banyak karya yang
dikeluarkannya.”
Ibrahim bin Abdullah Al-Hautsi
mengutarakan, “Imam Asy-Syaukani adalah pemimpin para punggawa takwil. la
memperdengarkan, menyusun, dan membuat riang banyak telinga dengan fatwa,
pemahaman, penelitian, dan ia juga memberikan banyak manfaat. Lembaran-lembaran
fatwa-fatwanya bertebaran ke seantero negeri. la terkenal akan ketelitian dan
karya tulisnya, juga kepemimpinannya dalam bidang ilmu hadits, tafsir, ushul,
furu, sejarah, pengetahuan tentang tokoh-tokoh hadits, dan kondisi sanad
riwayat-riwayat.
Dalam Mu’jam Al-Muallifin, Umar
Kahalah berkata, “Imam Asy-Syaukani adalah pakar tafsir; ahli hadits; ahli
fikih; ahli ushul; sejarawan; sastrawan; pakar nahwu; pakar logika; ahli ilmu
kalam; dan ahli ilmu hikmah. Pada masa hidupnya, karya-karyanya berserakan di
seluruh negeri. Setelah wafatnya, orang-orang mendapatkan banyak manfaat dari
karya-karyanya itu.”
Al-’Allamah Imam Al-Alusi rahimahullah,
penulis kitab tafsir Ruhul Maa’ni fi tafsir al Qur’an wa As Sab’u Al Matsani
, mengatakan, “Namun kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mentakdirkan bagi
mereka kebanggaan yang setara, kemuliaan Islam, kebaikan di setiap malam dan
hari, yaitu Al-Qadhi Muhammad bin Ali Asy-Syaukani. Dengannya, Allah
menghancurkan bid’ah, menghapuskan kesesatan, serta mengalahkan para pengikut
agama dan madzhab yang batil semisal Zaidiyah, dan sebagainya, sehingga
keimanan dan segenap aspeknya tumbuh subur di Yaman.”[5]
C. Tentang Tafsir Fathul Qadir
a. Latar Belakang Penulisan Tafsir
Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari
perhatian kita terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai
al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam
bidang tafsir. Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa
al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama
besar bernama al-Imâm Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W.
1250 H.).
Al-Syaukânî termasuk salah seorang ulama Yaman yang
banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti seperti tafsîr,
hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah, ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan
lain sebagainya. Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih
jauh, dan sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani
sendiri tentang kitabnya.
Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath
al-Qâdîr ini dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan
al-Qur’an sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan
menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang diungkapkan
al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr sebagai berikut:
الحمد لله الذي جعل كتابه المبين كافلا ببيان الآحكام, شاملا لما شرعه لعباده من الحلال والحرام, مرجعا للآعلام عند تفاوت الآفهام وتباين الآقدام وتخالف الكلام, قاطعا للخضام شافيا للسقام مرهما للآوهام, فهو العروةالوثقى التي من تمسك بها فازبدرك الحق القويم, والجادةالواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط المستقيم... [6]
”Segala puji bagi Allah yang
menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang
hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika
terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang,
obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan
pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia
akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan
ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”
Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup
bersemangat dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat
kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Syaukani
mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika beliau
senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk
mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari kebenaran dan kepastian
hukum.
Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat. Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiban dan rujukan para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.[7]
Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat. Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiban dan rujukan para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.[7]
b. Sistematika
Dalam penulisan kitab tafsir dikenal adanya tiga sistematika. pertama, sistematika
Mushafi yaitu penyusunan kitab tafsir dengan berpedoman pada tertib
susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf, dengan dimulai dari surat
Tafsiral Fatihah, al Baqarah dan seterusnya sampai surat an Nas. Kedua, Isistematika
Nuzuli yang dalam menafsirkan al Qur’an berdasarkan kronologi turunnya
surat-surat al Qur’an. Ketiga, sistematika Maudlu’i yaitu
menafsirkan al Qur’an berdasarkan topik-topik tertentu dengan mengumpulkan
ayat-ayat yang ada hubungannya dengan topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Asy-Syaukani dalam menulis kitab tafsirnya memulai dengan surat al Fatihah
dan diakhiri surat an Nas, dengan demikian beliau memakai sistematiaka mushafi,
yaitu menafsirkan al Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang
terdapat dalam mushaf.[8]
c. Metode Penafsiran
Metode yang dipakai Ast-Syaukani dalam kitab tafsirnya adalah metode
tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam
al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Langkah-langkah
penafsiran Asy-Syaukani sebagai berikut:
1. Menyebutkan ayat.
2. Menyebutkan point-point masalah ayat yang dibahas ke dalam beberapa bagian.
3. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
4. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadis-hadis dengan menyebut
sumber dalilnya.
5. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk
menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
6. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-masing dan mengambil
pendapat yang paling benar
d. Corak Tafsir
Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa
al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin
Muhammad al-Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab
dalam hal ini adalah madzhab Syiah Zaidiyah. Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa
al-Mufassirûn menyebut kurang lebih 13 kitab yang membahas tentang syiah
imamiah, dan 1 kitab tafsir tentang Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr. Selain
itu, al-Dzahabi juga menyebut 6 kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini
fikih. Salah satu dari sekian banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî dari
madzhab Syi’ah Zaidiyah.[9]
Rasionalitas tafsir Fath al-Qadir karya
al-Syaukani Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya
dua corak pemikiran dalam kitab Fath al-Qadir, yakni pemikiran yang bercorak
rasional. Pemikiran yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan
kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna
harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap
ayat-ayat al-Qur’an.
Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang
ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia.
Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Serta
pemikiran yang bercorak tradisional. Pemikiran yang bercorak tradisional adalah
pemikiran yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada
manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku
semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan
interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham
tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup
Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan
Maturidiyah Bukhara
Asy-Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya
menggabungkan antara metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode
yang menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-Qur’an,
hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode dirâyah adalah
metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam menganalisa ayat-ayat
al-Qur’an. al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada Jama’ah
Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah, Zaidiyah sesuai dengan
Mu’tazilah.[10]
D. Contoh Penafsiran
Paling tidak penulis menggunakan tiga sampel untuk
membidik kerasionalitasan al-Syaukani. Pertama, Dalam menafsirkan ayat
75 surat Sâd (38) yang di dalamnya terdapat kata bi yaday, al-Syaukani
mengatakan dalam penafsirannya:
"قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت
بيدي" أي ما صرفك وصدك عن السجود لما توليت خلقه من غير واسطة، وأضاف خلقه
إلى نفسه تكريماً له وتشريفاً، مع أنه سبحانه خالق كل شيء أضاف إلى نفسه الروح،
والبيت، والناقة، والمساجد. [11]
“Allah berfirman: "Hai
iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkang untuk
berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami
bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang
Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta
masjid-masjid.”
Setelah ayat yang sebelumnya
yang mengurai keengganan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas
mengurai kecaman Allah kepada Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah
berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang
telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua
tangan) menurut Quraish Shihab, sebagai berikut:
“Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh
para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus
yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci
dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada juga yang memahami kata
tangan dengan arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk
menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi
yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat tentang kejadian
manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah, dan juga ruh Ilahi. ”[12]
Al-Syaukani dalam keterangannya
di atas, memahami kata yadayya nampaknya lebih kepada isyarat tentang
betapa manusia memperoleh pegangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari
sini pula sehingga ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan
tetapi bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.
Kedua, dalam menafsirkan ayat 67
surat al-Zumar (39) yang didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani
mengatakan bahwa Allah bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan
pahamnya kepada kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu
bersangkut paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk
dan tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:
"والسموات مطويات بيمينه" فإن ذكر اليمين
للمبالغة في كمال القدرة كما يطوي الواحد منا الشيء المقدور له طيه بيمينه،
واليمين في كلام العرب قد تكون بمعنى القدرة والملك. [13]
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan
tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam kekuasaanya,
sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu dengan tangan kanannya. Dan tangan
kirinya dalam bahasa Arab bermakna kekuasaan dan kerajaan”.
Ayat di atas, mengecam kaum
musyrikin dengan menyatakan sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan
yang besar yakni mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isinya adalah
dalam genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya
secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di
sini adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di
antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak, yang
tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau dibatasi oleh
batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani.
Ketiga, kata jâ’a Rabbuka (telah
datang Tuhanmu) dalam ayat 22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh
al-Syaukani dengan ketentuan Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:
"وجاء ربك" أي جاء أمره وقضاؤه وظهرت
آياته، وقيل المعنى: أنها زالت الشبه في ذلك اليوم وظهرت المعارف وصارت ضرورية كما
يزول الشك عند مجيء الشيء الذي كان يشك فيه، وقيل جاء قهر بك وسلطانه وانفراده
بالأمر والتدبير من دون أن يجعل إلى أحد من عباده شيئاً من ذلك "والملك صفاً صفاً"
انتصاب صفاً صفاً على الحال: أي مصطفين، أو ذي صفوف [14]
“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan
ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang mengartikan “bahwasannya
hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-keterangan itu
sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika datang sesuatu yang membuat
dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan datanglah yang memaksamu atas
perintahnya “dan sedang malaikat berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan
karena sebagai hal posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris”.
Ayat di atas merupakan kecaman
terhadap ayat sebelumnya yang mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan
anak yatim, al-Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni
datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau hadirlah
ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya.
Uraian di atas, menunjukkan
bahwa secara kuantitatif al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung kepada
pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-tradisioanl.
Dikatakan rasional yakni memahami nash-nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam
makna harfiahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Dari tiga kasus yang disebut
di atas, yakni: yadayya, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami
al-Syaukani tidak dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna
metaforis. Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang
cenderung ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf ayat 143 .
Ayat ini sudah menjadi pegangan
aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman
Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk
melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya
melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada
halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia,
tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini
sudah terkenal di antara mereka.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa
pada hakekatnya al-Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme
tersebut, cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
BAB III
Penutup
Pengarang (asy-Syaukani) menyebutkan bahwa
biasanya para mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya
memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok
kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin
menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi, ia
mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan
antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami
sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya
Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih
(menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling
bertentangan sedapat mungkin dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya
juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak
kalimat), balaghah dengan sedikit banyak. Demikian pula, saya sangat antusias
untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah SAW, para
shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”
Ia mengatakan, “Tafsir ini sekali pun
ukurannya besar tetapi memuat ilmu yang banyak, terpenuhi bagian tahqiq
(analisis)-nya serta mengena tujuan mencari kebenaran di dalamnya serta mencakup
pula faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan sebagainya yang disarikan dari
kitab-kitab tafsir…”
Kitab tafsir asy-Saukani memiliki
keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah
menyimpang dan taqlid buta. Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan
difitnah dengan beragam tuduhan, semoga Allah merahmati beliau.
Daftar Pustaka
An-Najdy, Abu ‘Abdillah Muhammad
Ali Hamud. 2001. “al-Qawl al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij
al-Mufassiriin”, Beirut: Darul Fikr.
Al-Ghumari, Muhammad Hasan. 2001. “al-Badr
ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani Mufassiran,” Beirut: Dar
al-Fikr.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain.
2000. “al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,” Kairo: Maktabah Wahbah.
Asy-Syaukani, 2007. “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa
ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. Beirut:
Darul Ma’rifah.
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN SUKA. 2004. “Studi Kitab
Tafsir”, Yogyakarta: Teras.
Shihab, M. Quraish. 2002. “Tafsir
al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an”, Jakarta: Lentera Hati.
http://smartmuslimonline.com/tafsir-fathul-qadir-imam-asy-syaukani-1-set12-jilid/.
Diakses pada tanggal 26 Mei 2016.
[1] Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, al-Qawl
al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, (Beirut: Darul Fikr,
2001), hal.50-53
[2]Asy-Syaukani, “Fath-hul Qadiir al-Jaami’ Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa
ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. (Beirut:
Darul Ma’rifah, 2007), h. 5-6
[3]Muhammad
Hasan al-Ghumari, al-Badr ath-Thaali’ (II:214), al-Imam asy-Syawkani
Mufassiran, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), h.
[4]Abu ‘Abdillah, Muhammad AliHamud an-Najdy, al-Qawl
al-Mukhtashar al-Mubiin Fii Manaahij al-Mufassiriin, (Beirut: Darul Fikr,
2001), hal.56
[5] http://smartmuslimonline.com/tafsir-fathul-qadir-imam-asy-syaukani-1-set12-jilid/.
Diakses pada tanggal 26 Mei 2016
[6] Asy-Syaukani, “Fath-hul Qadiir al-Jaami’
Bayna Fannay ar-Riwaayah Wa ad-Diraayah Min ‘Ilm at-Tafsiir”. (Beirut: Darul Ma’rifah, 2007), h. 11
[7] Asy-Syaukani, h. 12
[8] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta,
Teras, 2004), h. 68
[9] Muhammad Husain
al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
[10] Asy-Syaukani, h. 12
[11] Asy-Syaukani, h. 1272
[12] M. Quraish
Shihab, “Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an”,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002)
[13] Asy-Syaukani, h. 1291
[14] Asy-Syaukani, h. 1621
1 Komentar:
How to Make Money from Casino Games - WorkMaker Money
› › Online Games › › Online 온카지노 Games หารายได้เสริม How to make money from Casino Games 1xbet korean and how to make Money from Casino Games. 3 Types of Casino Games · Top Online Casinos · Real Money Casinos.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda