Selasa, 24 April 2018


Orientalisme dan Studi Hadits Serta Respon Ulama Terhadapnya
Oleh: Ahmad Zzamroni
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

Pendahuluana
Di era yang semakin berkembang dan maju  ini studi-studi agama juga ikut berkembang sesuai dengan jamannya. Terlebih agama Islam yang akhir-akhir ini menjadi sorotan seluruh ummat di dunia dengan adanya kejadian sengketa antara Palestina dan Yerussalem yang sudah dimulai sejak dulu seakan tidak akan ada akhirnya. Bukan hanya itu saja, issu ISIS dan juga Teroris yang mengatasnamakan agama Islam juga ikut berpartisipasi dalam memviralkan agama tersebut.
Kalangan sarjana muslim belakangan ini juga sudah menyadari bahwa dibalik itu semua ada yang mengakomodir sehingga seolah-olah konflik tersebut memang dibuat oleh ummmat muslim itu sendiri. Bahkan, wacana-wacana Barat uyang ingin sekali masuk ke dunia Timur juga telah mereka sadari. Namun, kesadaran tersebut tidak diimbangi dengan perlawanan yang bias menetralisir segala permaslaahan. Orang muslim yang mempunyai otoritas seakan tutup telinga karena sejatinya mereka takut akan keganasan dan ancaman Barat yang dapat merugikan mereka. Bukti ketertarikan Barat tentang dunia Timur sudah terbukti dengan adanya para orientalis yang mencoba mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan bangsa \timur. Yang paling utama adalah studi tentang al-Qur’an dan Hadits.
Akan tetapi, dengan adanya para orientalis yang mencoba menkritik karya ummat yang fenomenal itu, para ulama justru menjadi semakin semangat dalam mempelajari karya-karya pendahulunya sebagai upaya untuk membentengi para orientalis supaya tidak merusak dan mebolak-balikkan kepercayaan ummat Islam sebelumnya.[1] Di sisi lain, para orientalis ini sangat berjasa dalam perkembangan ilmu hadits, karena dengan penelitiannya inilah para ulama menjadi sangat semangat dalam mempelajari hadits dan gigih dalam pembelaannya mengani ancaman orientalis.
Dalam penulisan makalah ini, penulis memfikuskan bahasan hanya dengan dua tokoh saja yang menurut penulis kedua tokoh orientalis tersebut yang sangat controversial dan sangat jauh pandangannya mengenai hadits nabi. Kedua tokoh tersebut adalah Ignaz Golziher dan Joseph Schacht. Di sini, pemalakalah akan membahas mengenai kontribusi serta pemikiran kedua tokoh tersebut.
Pengertian Orientalis
Orientalis dalam bahasa inggris berarati orient yang artinya direction of rising sun (arah terbitnya matahari). Lain kalau dilihat dari sudut pandang geografis, kata orient berarti dunia Timur sedangkan secara etnologis berarti bangsa-bangsa Timur. Adapun kata isme seperti yang kita ketahui bahwa isme artinya adalah sebuah aliran, pendirian, ilmu, paham, keyakina, dan system. Dengan kata lain secara etimologis berrati orientalis adalah studi tentang ketimuran atau bangsa-bangsa timur.[2]
Menurut Edward Said, pengarang buku yang sempat menggemparkan dunia yang berjudul Orientalism: Western Conceptions of The Orient. Dalam karyanya tersebut beliau mengkritik tajam dunia barat yang memandang Timur menjadi pengaruh yang tidak menguntungkan bagi dunia barat. Timur juga dianggap sebagai legitimasi agresi colonial dan supremasi politik. Menurutnya, orientalis memiliki tiga hal yang saling mengait, yaitu pertama seorang orienytalis adalah orang yang menggeluti atau memantau dunia Timur, entah menulis, meneliti ataupun mengajarkan apa yang dipandangnya dari dunia Timur. Orang tersebut bias dari berbagai kalangan apa saja yang tertarik dengan dunia Timur. Kedua, adalah bahwa orientalis benar-benar murni perbedaan antara dun ia Timur dan Barat dari segi Ontologis maupun Epistimologi. Ini juga berpengaruh bagi si penulis bagaimana penulis akan membawa tulisannya ke arah mana antara Timur dan Barat. Ketiga, ini yang bagi Said adalah inti dari orientalis, yaitu bagaimana dunia barat memperlakukan dunia Timur sehingga seolah-olah dunia Timur adalah bentukan dari cara berpikir Barat tentang dunia Timur. Dengan kata lain orientalis adalah semacam cara barat menguasai, mendominasi maupun merekontruksi dunia Timur.[3]
Dengan adanya pandangan Edward Said yang demikian, dapat disimpulkan kembali bahwa cara mengetahui atau mengenal seseorang itu orientalis atau bukan adalah terletak pada cara berpikir mereka tentang dunia Timur, bukan ditentukan dengan letak Geografis mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang, entah itu orang barat atau timur, muslim atau nonmuslim yang memandang dunia Timur dengan sedemikian rupayang pendapat mereka disandarkan pada pemikiran barat tentang dunia timur.
Sedangkan orientalisme secara terminology adalah suatu kerangka berpikir yang digunakan untuk mengetahui atau mengenal dunia timur dengan gaya pembedaan berdasarkan ontologism maupun epistimologis. Lawan dari orientalis itu sendiri adalah Oksidentalis, yang kata dasarnya adalah occident yang berarti Barat. Akan tetapi istilah ini tidak sesempit istilah orientalis yang hanya disandarkan pada dunia Timur atas cara pandang dunia Barat, melainkan istilah ini bias juga digunakan hanya sebagai hubungan dialektis yang saling melengkapi satu sama lain, entah itu kritikan atau sebagainya sehingga kajian oksidentalis ini terhindar dari masalah hegemoni ataupun dominative antar kedua belah pihak.[4]
Pandangan Orientalis Terhadap Hadis Nabi SAW
Mengenai siapa pertama kali orientalis yang membahas tentang hadis sampai saat ini belum menemui titik terang. Banyak perdebatan diantara kaum orientalis itu sendiri maupun orang Islam. Menurut Daniel W. Brown sebagaiaman beliau mengutip pendapat G.H.A Joynboll, bahwa orang pertama kali yang membahas hadis dikalangan sarjana Barat adalah Alois Sprenger yang kemudian diikuti oleh Sir Wlliam Muir yang dibahas dalam karyanya yang berjudul Life of Muhamet.[5]
Sedangkan pada abad ke 19 dunia Islam digemparkan dengan adanya sebuah karya yang mengkritik habis-habisan salah satu kitab fenomenal mereka. Ia adalah Ignas Goldziher dengan karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien. Ia merupakan seorang Yahudi yang lahir di Hongaria pada tahun sekitar (1850-1920) M. inilah yang dijadikan dasar pendapat M. Musthafa Azami tentang siapa orientalis pertama kali yang membahas hadis. Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh A.J. Wensinck bahwa bukan Ignaz yang pertama kali membahas hadis, melainkan Snouck Hourgronje, yang ia telah menyumbangkan pemikirannya dalam sebuah karya yang berjudul Revre Coloniale Internationale pada tahun 1886.[6]
Dengan kata lain, semua orientalis, entah siapa yang pertama memulai tersebut tentu tidak lepas dari pandangan mereka terhadap Islam itu sendiri. Citra Nabi Muhmmad yang menjadi nabi dari agama Islam  menjadi sentral dari pendapat mereka mengenai hadis. Hal ini dikarenakan hadis berasal dari perkataan, perbuatan, dan persetujuannya melahirkan hadis serta lahir jauh setelah masa Nabi Muhammad.
Di kalangan orientalis itu sendiri terjadi dua kelompok dalam memandang nabi Muhammad. Satu kelompok memandang bahwa nabi Muhammad adalah seorang utusan yang mampu mengeluarkan orang-orang terdahulu dari kedzaliman. Dan kelompok lain memandang nabi adalah seorang penganut Kristen yang murtad dan menjadi ancaman besar bagi kehancuran agama Kristen. Dengan pandangan inilah tentu saja sama dengan pandangan negative terhadap hadis. Dan diantara pendapat keduanya, pendangan negatiflah yang mendominasi diantara kaum orientalis.  
Dengan demikian, beberapa faktor yang menyebabkan hadist menjadi sumber kajian para  Orientalis dengan upayanya menjatuhkan Islam adalah Pertama: memang hadits lebih mudah dikritik daripada al-Qur’an. Hal ini dikarenakan hadits ada jauh setelah  nabi wafat. Sehingga,  keotentikan hadits perlu dipertanyakan apalagi hadits buatan orang yang kebanyakan tidak pernah bertemu dengan nabi, Kedua: banyak lahirnya hadits palsu setelah adanya niatan pembukuan hadits besar-besaran yang mengakibatkan susahnya dalam membedakan mana hadiits yang shahih dan mana yang palsu, sehingga menjadi kesempatan para orientalis dalam menkritik karya Islam tersebut.[7]
Dalam kajian hadits itu sendiri di kalangan ummat Islam, terutama dikalangan Muhadditsin, dikenal ada tiga wilayah yang menjadi obyek penelitian hadits. yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik perawi. Dengan tiga wilayah tersebut, para Orientalis membuka jalan mereka untuk meneliti keotentikan sebuah hadits. Dalam hal ini para Orientalis diuntungkan dengan adanya wilayah sensitif dalam memahami hadits, sehingga semangat dalam penelitiannya menjadi sangat besar demi tujuan utamanya, yaitu menjatuhkan citra Islam di mata dunia, terutama kebenaran bahwa hadits berasal dari Muhammad. Beberapa aspek yang keluar dari pendapat mereka secara umum adalah sebagai berikut:
1.      Pribadi Nabi Muhammad
Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan, mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai utusan, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana kebanyakan orang. Sesuatu yang didasarkan dari Nabi Muhammad  baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan. Sedangkan hadits yang lain yang tidak menyangkjut keagmaan, maka hal itu tidak layak disebut dengan hadits, karena bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.[8]
2.      Asanid (Rangkaian Perawi).
Rangkaian  perowi dalam studi hadits juga menjadi penting untuk menentukan apakah sebuah haidts tersbut asli atau bukan. Dalam penentuan keaslian hadits, yang paling dominan adalah dari segi perowinya. Dengan demikian, ilmu ilmu takhrijul hadits menjadi sangan penting di kalanbgan peneliti hadits. Para orientalis dalam dalam kritikannya mengenai hadits, meragukan sanad yang sampai kepada nabi Muhammd. Justru tingkatan hadits lebih tinggi jika sanad perawinya sampai sebatas sahabat. Disamping itu, para orientalis juga menganggap sanad dalam hadits adalah fiktif atau antara yang asli dan palsu tidak bias dibedakan.[9]
3.      Aspek Matan
Para orientalis menganggap bahwa ada kekeliruan dengan para muhadditsin. Kekeliruan tgersebut adalah bahwa para ahli hadits penelitiannya hanya sebatas sanad. Jika sanad sudah aman dan sudah termasuk kategori hadis shahih maka sudah final tanpa meneliti matannya. Hanya saja, apabila matan hadits tidak sesuai al-Qur’an maka baru dipermasalahkan. Jika matan masih bisa ditafsirkan dengan sedemikian rupa sehingga sejajar dengan al-Qur’an, hadits demikian pun juga tidak dikritik. Dengan demikian, para orientalis menganggap bahwa matan  juga mempunyai kelemahan.[10]

Adapun salah diantara tokoh Orietalis yang meragukan keotentikan hadis adalah sebagai berikut:
a.        Ignaz Goldziher
Ia adalah seperti orang yang mempunyai motivasi besar dalam menggapai sesuatu. Dicatat dalam sejarah bahwa Ignaz Goldziher ini adalah salah satu tokoh Orientalis yang sangat gigih dalam menimba ilmu. Ia pernah belajar dengan ulama-ulama terkenal pada masanya, seperti Syeikh Tahir al-Jazairi dari Syiria pada tahun 1873 M. Al-Azhar yang merupakan pusat studi tertua di Mesir pun ia kunjungi demi memperoleh ilmu dari ulama-ulama kampus tersebut. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi Hungaria pada tahun 1850 M, Ia juga pernah belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig..[11] Pada tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest dan meninggal pada 13 November 1921.[12]
Dalam pandangan Ignaz, hadist yang menjadi pegangan kedua ummat Islam setelah al-Qur’an adalah diragukan keotentikannya sebagai sabda Nabi Muhammasd saw.[13] Menurutnya, hadits merupakan produk yang muncul karena berbagai konflik yang terjadi saat masa-masa kejayaan Islam yang penulisannya pun dipengaruhin oleh alira-aliran sesuai dengan kelompok masing-masing. Hadits dipandang bukan produk sejarah awal munculnya Islam, yaitu zaman nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa Ignaz beranggapan hadist adalah buatan manusia beberapa abad setelah wafatnya Nabi Muhammad yang mengindikasikan bukan asli dari Muhammad.
Pendapat Ignaz tersebut mengundang Orientalis lain untuk mengkritik Hadits.  Alfred Guillaume menjadi salah satu orientalis yang menyetujui dan mengamini pendapat Ignaz yang Alfred sendiri adalah salah satu Orientalis yang berasal dari Inggris.. Dalam bukunya mengenai sejarah hadits, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW.[14]
Pendapat ini disebebkan mereka meragukan bahwa tidak adanya bukti yang menunjukkan bahwa hadits telah dicatat sejak zaman Nabi dan lemahnya ingatan para perawinya. [15] Ia beranggapan bahwa kondisi pada saat penulisan sangat dibatasi hanya al-Qur’an. Selain itu masyarakat Islam belum mengerti sepenuhnya mengenai dogma-dogma keagaan serta masioh ada tumpuan yang apabila tidak mengetahiu sesuatu pasti akan lari ke tumpuan itu, yaitu Nabi Muhammad. [16]
Kritik Sanad yang menurut mereka sangat cocok dilakukan atau digunakan oleh ulama klasik menjadi sangat sensitive bagi mereka. Metode ini menurut mereka menjadikan sebuah hadits itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena lemahnya metode tersebut. Dengan begitu, Ignaz menawarkan metode matan sebagai metode untuk meneliti hadits. Metode kritik matan hadits oleh Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain.[17] Hal ini sangat penting menurut mereka karena supaya mengetahui kondisi pada saat penulisan hadits itu bagaimana sehingga tahu kualitas hadits yang sedang diteliti itu shahih atau tidak.[18]
Salah satu contoh bantahan orientalis terhadap hadits adalah tentang pemalsuan al-Zuhri terhadap hadis: لا تشد الرجال إلا على ثلاثة مساجد   (janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga mesjid). Menurut Goldziher Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam (Syiria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Shakhra di al-Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
b.      Joseph Schacht
Orientalis yang satu ini mulai menjadi orientalis setelah ia belajar filologi dan teologi serta bahasa-bahasa timur di sebuah universitas, yaitu Berslaw dan universitas Leipzig. Josepht Schahct merupakan seorang Orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi yang lahir  pada tanggal 15-3-1902. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika berumur 21 tahun.[19]
Pada tahun 1925 ia diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagi guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2 tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Mesir sampai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959. Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar sampai ia meninggal pada tahun 1969.[20]
Karya fenomenal Joseph adalah The Origins of Muhammad Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan bukunya An-Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960.[21] Ia mengatakan dalam bukunya bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi Muhammad saw. Dan kalaupun ada dan bias dibuktikan, maka jumlahnya amat sedikit sekali.[22] Dalam mengkaji Hadits Nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadits). Sementara kitab-kitab yang dipakai ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwatta karya Imam Malik, kitab al-Muwatta karya Imam Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Um dan al-Risalah karya Imam al-ASyafi’i. Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat, penelitian hadits harus pada kitab-kitab hadits.[23]
Schachtsebenarnya lebih menyoroti bagian Sanad hadits yang berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang yang mengetahuibahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang saangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaanya pada paruh kedua aabad ke tiga hijriah. Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada Nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut.
Dengan demikian, Schacht menyodorkan teori Projecting back,[24] yaitu menisbahkan (mengaitkan) pendapat para ahli Fiqih abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh-tokoh terdahulu agar mendapat legitimasi dari orang-orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi.[25] Menurutnya Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w 110 H) penegasan ini memberi pengertian apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dulu tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Ummayah.[26]

Bantahan ulama tentang pendapat Orientalis terhadap Hadits
Usaha-usaha para Orienytalis untuk mejatuhkan ummat Islam lewat hadits mengundang banyak ulama dalam menanggapi keraguan para Orientalis. Salah diantara ulama yang menyanggah pendapat Orientalis adalah Prof. Dr. Mustafa al-Syiba’i (Guru Besar Universitas Damaskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islam, Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin, Prof Dr. Muhammad Mustafa Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature[27]
Mustafa Azami dan As-Syibai menkritik pendapat orientalis yang mengatakan bahwa banyak hadits ditulis satu abad setelah wafat nabi tahun 632 ini adalah tidak benar. Al-Azami berpendapat bahwa para shahabat telah menuliskan hadits-hadits pada saat nabi Muhammad masih hidup dan bahwa periwayatannya pun dilakukan secara tertulis hingga hadits-hadits itu dikodifikasikan pada abad ke tiga hijriah. Menurut Tirmidzi, ada beberapa shahabat yang memiliki dokumen hadits antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa, yang menulis shahifah sendiri, dan Samrah bin Zundar. Orang yang pertama menuliskan kitab hadits yang dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri.[28] Di samping itu, masih banyak sahabat lain yang mempumyai naskah-naskah hadits, kurang lebih  52 shahabat. Selain sahabat, para tabi’in juga mempunyai naskah yang serupa, para tabi’in tersebut berjumlah kurang lebih 247 Tabi’in (generasi sesudah shahabat)[29]
Mengenai hadist yang disanggah oleh Ignaz yang menurutnya hadits tersebut dibuat dengan  adanya persekongkolan antara pembuat hadits dan pengauasa waktu itu menurut Azami tidak benar adanya. Hal ini dikarenakan, menurut sejarah tentang kelahiran al-Zuhri sendiri yang merupakan pembuat hadits masih menjadi pertentangan,di kalangan sejarawan antara tahun 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum tahun 81. Tentang pembangunan Qubbah Sakhra menurut kesimpulan Azami terjadi pada tahun 68 H, karena Pada tahun tersebut orang-orang dari Dinasti Bani Umayah berada di Mekah pada musim haji.[30]
Dengan demikian, sangat tidak bisa dilogika apabila al-Zuhri membuat Hadits atas persekongkolannya denagn Dinasti Umayyah karena apabila ditelusuri, umur al-Zuhri pada waktu itu baru sekitar 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah ke Jerusalem. [31] Di samping itu, menurut ulama lain yaitu As-Syibai bahwa al-Zuhri bukanalh seorang ulama yang begitu gampang diminta sesuatu oleh penguasa. Hal ini dikarenakan beliau bukan abdi penguasa yang taat. Justru, beliau adalah seorang ulama yang independent yang taat agama dan jarang melakukan kesalahan atau kebohongan seperti yang dikatakan oleh orang sekitarnya.[32]
Mengenai Joseph Schacht dengan teorinya Projecting Back, al-Azami mencoba menyanggah teori tersebut dengan melakukan penelitian tentang hadits yang diteliti oleh Schacht. Salah satu penelitiannya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shalih (w. 138 H). Abu Shalih adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi. Jikalau demikian, maka sanadnya menjadi: Nabi s.a.w–Abu Hurairah–Abu Shalih – Suhail. Sedangkan, pada sanad ketiga ini yaitu Suhail, al- Azami berhasil membuktikan bahwa pada masa itu jumlah rawi yang sama berkisar antara 20 sampai 30 orang. Jika dilihat dari segi tempat tinggal mereka jaraknya sangat jauh karena berpencar-pencar dari antara India samapi dengan Maroko dan antara Turki sampai ke Yaman. Adapun dari segi redaksi hadits atau bisa disebut dengan matan hadits, redaksinya sama dengan yang diriwayatkan oleh Suhail. Dengan demikian, disini al-Azami mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin terjadi terdapat hadits yang sama dengan jumlah yang demikian mereka pernah berkumpul untuk membuat hadits palsu dengan kondisi dan situasi pada saat itu. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat itu sama.[33]
Sedangkan, Schacht yang dalam penelitiannya mengambil kitab-kitab yang menurut al-Azami adalah kitab Fiqh, maka Menurutnya, teori Scacht tentang projecting back adalah salah kaprah. Hal ini dikarenakan fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqh adalah ijtihady. Oleh sebab itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayyah.

Kesimpulan
Serangan orientalis terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana dan bersama-sama. Ada yang menyerang matannya, seprti Ignaz. Sanad seperti Joseph Schacht. Serangan mereka diarahkan ke semua kategori. Meskipun semua tokoh yang terlibat dalam penkritikan hadits dari golongan orientalis pemakalh tidak semua disebutkanb, namun dari kedua tokoh diatas agaknya sudah mewakili dari semua tokoh. Hal ini dikarenakan, tokoh lain hanya pengembang dari oendapat sebelumnya.
Tulisan-tulisan orientalis mengenai sumber ajaran agama Islam, terutama hadits oleh pembaca harus kritis dan waspada. Jangan terlena dengan pendapat-pendapat mereka yang bertujuan menghancurkan panji-panji Islam di mulai dengan sumber ajarannya. Goldziher dan Schacht sebagai orientalis yang terkemuka dan berpengaruhmemiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat, bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia lalu menyodorkan teori Projecting back.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits tersebut.








Daftar Pustaka

Arif, Syamsuddin. 2005. Hadits Nabi, Otentisitas dan Upaya Dentruksinya, Jurnal Al-Insan Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
Arifin, Tajul. 2009.  The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, Bandung, Inaugural Speech.
Azami, Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadits Methology and Literature, American Trust Publication: America.
Darmalaksana, Wahyudin. 2004.  Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press.
Juyhnbool, G.H.A. 1999. Kontroversi Hadits di Mesir, Bandung : Mizan.
Juyhnbool, G.H.A. 1999. The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan Bandung : Mizan.
Idri. 2010. “Studi Hadis”, Kencan Predana Media Grup: Jakarta.
King, Richard. 2011. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme (Terj.), (Penerbit Qalam: Yogyakarta.
Miftahul Asror dan Imam Musbikin. 2015. “Membedah Hadis Nabi SAW, Kaidah dan sarana studi hadis serta pemahamannya”, Jaya Star Nine: Jawa Timur.
Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis,  (http://moenawar.multiply.com/journal/item/5), Senin, 23 April 2018
Schacht,  Joseph. 1959. The Origins of Muhammad Jurisprudence, cetakan kedua Oxford: Clarendon Press.
Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits http://www.inpasonline.com/ tanggal 23 April 2018
Yaqub, Ali Mustafa. 1996. Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus.



[1] Miftahul Asror dan Imam Musbikin, “Membedah Hadis Nabi SAW, Kaidah dan sarana studi hadis serta pemahamannya”, (Jaya Star Nine: Jawa Timur, 2015), h. 507
[2] Idri, “Studi Hadis”, (Kencan Predana Media Grup: Jakarta, 2010), h. 305
[3] Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme (Terj.), (Penerbit Qalam: Yogyakarta, 2001) hal. 162-163
[4] Miftahul Asror dan Imam Musbikin, “Membedah Hadis Nabi SAW, Kaidah dan sarana studi hadis serta pemahamannya”, hal. 508-509
[5] Idri, “Studi Hadis”, hal. 306-307
[6] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadits Methology and Literature, (American Trust Publication: America, 1977). Hal.94
[7] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 81
[8] Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis,  (http://moenawar.multiply.com/journal/item/5), Senin, 23 April 2018
[9] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009). Hal. 7
[10] G.H.A. Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999), hlm 202
[11]Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) Cet. 2 hal. 14
[12] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 92
[13] Ali Mustafa Yaqubhal. 14
[14] Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits http://www.inpasonline.com/ tanggal 23 April 2018
[15] Syamsuddin Arif, Hadits Nabi, Otentisitas dan Upaya Dentruksinya, Jurnal Al-Insan (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2005), hal. 11
[16] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 97-98
[17]Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 15
[18] Wahyudin Darmalaksana, hal. 100
[19] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits,hal. 19
[20] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits,hal. 19
[21] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 20
[22] Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence, cetakan kedua (Oxford: Clarendon Press, 1959), hal. 149
[23] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 21
[24] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, hal. 115
[25] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 27
[26] Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, hal. 21
[27] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 16
[28] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 5-6
[29] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 30
[30] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 16
[31] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 16
[32] G.H.A. Juyhnbool, Kontroversi Hadits di Mesir, (Bandung : Mizan, 1999), hlm 160
[33] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 28