Orientalisme dan Studi Hadits Serta Respon Ulama
Terhadapnya
Oleh: Ahmad Zzamroni
Mahasiswa Pascasarjana Prodi Ilmu al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang
Pendahuluana
Di
era yang semakin berkembang dan maju ini
studi-studi agama juga ikut berkembang sesuai dengan jamannya. Terlebih agama
Islam yang akhir-akhir ini menjadi sorotan seluruh ummat di dunia dengan adanya
kejadian sengketa antara Palestina dan Yerussalem yang sudah dimulai sejak dulu
seakan tidak akan ada akhirnya. Bukan hanya itu saja, issu ISIS dan juga
Teroris yang mengatasnamakan agama Islam juga ikut berpartisipasi dalam
memviralkan agama tersebut.
Kalangan
sarjana muslim belakangan ini juga sudah menyadari bahwa dibalik itu semua ada
yang mengakomodir sehingga seolah-olah konflik tersebut memang dibuat oleh
ummmat muslim itu sendiri. Bahkan, wacana-wacana Barat uyang ingin sekali masuk
ke dunia Timur juga telah mereka sadari. Namun, kesadaran tersebut tidak
diimbangi dengan perlawanan yang bias menetralisir segala permaslaahan. Orang
muslim yang mempunyai otoritas seakan tutup telinga karena sejatinya mereka
takut akan keganasan dan ancaman Barat yang dapat merugikan mereka. Bukti
ketertarikan Barat tentang dunia Timur sudah terbukti dengan adanya para orientalis
yang mencoba mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan bangsa \timur.
Yang paling utama adalah studi tentang al-Qur’an dan Hadits.
Akan
tetapi, dengan adanya para orientalis yang mencoba menkritik karya ummat yang
fenomenal itu, para ulama justru menjadi semakin semangat dalam mempelajari
karya-karya pendahulunya sebagai upaya untuk membentengi para orientalis supaya
tidak merusak dan mebolak-balikkan kepercayaan ummat Islam sebelumnya.[1] Di
sisi lain, para orientalis ini sangat berjasa dalam perkembangan ilmu hadits,
karena dengan penelitiannya inilah para ulama menjadi sangat semangat dalam
mempelajari hadits dan gigih dalam pembelaannya mengani ancaman orientalis.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis memfikuskan bahasan hanya dengan dua tokoh saja
yang menurut penulis kedua tokoh orientalis tersebut yang sangat controversial dan
sangat jauh pandangannya mengenai hadits nabi. Kedua tokoh tersebut adalah
Ignaz Golziher dan Joseph Schacht. Di sini, pemalakalah akan membahas mengenai
kontribusi serta pemikiran kedua tokoh tersebut.
Pengertian Orientalis
Orientalis dalam
bahasa inggris berarati orient yang artinya direction of rising sun (arah
terbitnya matahari). Lain kalau dilihat dari sudut pandang geografis, kata orient berarti dunia Timur sedangkan
secara etnologis berarti bangsa-bangsa Timur. Adapun kata isme seperti yang
kita ketahui bahwa isme artinya
adalah sebuah aliran, pendirian, ilmu, paham, keyakina, dan system. Dengan kata
lain secara etimologis berrati orientalis adalah studi tentang ketimuran atau
bangsa-bangsa timur.[2]
Menurut Edward
Said, pengarang buku yang sempat menggemparkan dunia yang berjudul Orientalism: Western Conceptions of The
Orient. Dalam karyanya tersebut beliau mengkritik tajam dunia barat yang
memandang Timur menjadi pengaruh yang tidak menguntungkan bagi dunia barat.
Timur juga dianggap sebagai legitimasi agresi colonial dan supremasi politik.
Menurutnya, orientalis memiliki tiga hal yang saling mengait, yaitu pertama
seorang orienytalis adalah orang yang menggeluti atau memantau dunia Timur,
entah menulis, meneliti ataupun mengajarkan apa yang dipandangnya dari dunia
Timur. Orang tersebut bias dari berbagai kalangan apa saja yang tertarik dengan
dunia Timur. Kedua, adalah bahwa
orientalis benar-benar murni perbedaan antara dun ia Timur dan Barat dari segi
Ontologis maupun Epistimologi. Ini juga berpengaruh bagi si penulis bagaimana
penulis akan membawa tulisannya ke arah mana antara Timur dan Barat. Ketiga, ini yang bagi Said adalah inti
dari orientalis, yaitu bagaimana dunia barat memperlakukan dunia Timur sehingga
seolah-olah dunia Timur adalah bentukan dari cara berpikir Barat tentang dunia
Timur. Dengan kata lain orientalis adalah semacam cara barat menguasai,
mendominasi maupun merekontruksi dunia Timur.[3]
Dengan adanya
pandangan Edward Said yang demikian, dapat disimpulkan kembali bahwa cara
mengetahui atau mengenal seseorang itu orientalis atau bukan adalah terletak
pada cara berpikir mereka tentang dunia Timur, bukan ditentukan dengan letak
Geografis mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang, entah itu orang
barat atau timur, muslim atau nonmuslim yang memandang dunia Timur dengan
sedemikian rupayang pendapat mereka disandarkan pada pemikiran barat tentang
dunia timur.
Sedangkan
orientalisme secara terminology adalah suatu kerangka berpikir yang digunakan
untuk mengetahui atau mengenal dunia timur dengan gaya pembedaan berdasarkan
ontologism maupun epistimologis. Lawan dari orientalis itu sendiri adalah
Oksidentalis, yang kata dasarnya adalah occident
yang berarti Barat. Akan tetapi istilah ini tidak sesempit istilah
orientalis yang hanya disandarkan pada dunia Timur atas cara pandang dunia
Barat, melainkan istilah ini bias juga digunakan hanya sebagai hubungan
dialektis yang saling melengkapi satu sama lain, entah itu kritikan atau
sebagainya sehingga kajian oksidentalis ini terhindar dari masalah hegemoni
ataupun dominative antar kedua belah pihak.[4]
Pandangan Orientalis Terhadap Hadis
Nabi SAW
Mengenai
siapa pertama kali orientalis yang membahas tentang hadis sampai saat ini belum
menemui titik terang. Banyak perdebatan diantara kaum orientalis itu sendiri
maupun orang Islam. Menurut Daniel W. Brown sebagaiaman beliau mengutip
pendapat G.H.A Joynboll, bahwa orang pertama kali yang membahas hadis
dikalangan sarjana Barat adalah Alois Sprenger yang kemudian diikuti oleh Sir
Wlliam Muir yang dibahas dalam karyanya yang berjudul Life of Muhamet.[5]
Sedangkan
pada abad ke 19 dunia Islam digemparkan dengan adanya sebuah karya yang
mengkritik habis-habisan salah satu kitab fenomenal mereka. Ia adalah Ignas
Goldziher dengan karyanya yang berjudul Muhammedanische
Studien. Ia merupakan seorang Yahudi yang lahir di Hongaria pada tahun
sekitar (1850-1920) M. inilah yang dijadikan dasar pendapat M. Musthafa Azami
tentang siapa orientalis pertama kali yang membahas hadis. Akan tetapi pendapat
ini dibantah oleh A.J. Wensinck bahwa bukan Ignaz yang pertama kali membahas
hadis, melainkan Snouck Hourgronje, yang ia telah menyumbangkan pemikirannya
dalam sebuah karya yang berjudul Revre Coloniale
Internationale pada tahun 1886.[6]
Dengan
kata lain, semua orientalis, entah siapa yang pertama memulai tersebut tentu
tidak lepas dari pandangan mereka terhadap Islam itu sendiri. Citra Nabi
Muhmmad yang menjadi nabi dari agama Islam menjadi sentral dari pendapat mereka mengenai
hadis. Hal ini dikarenakan hadis berasal dari perkataan, perbuatan, dan persetujuannya
melahirkan hadis serta lahir jauh setelah masa Nabi Muhammad.
Di
kalangan orientalis itu sendiri terjadi dua kelompok dalam memandang nabi
Muhammad. Satu kelompok memandang bahwa nabi Muhammad adalah seorang utusan
yang mampu mengeluarkan orang-orang terdahulu dari kedzaliman. Dan kelompok
lain memandang nabi adalah seorang penganut Kristen yang murtad dan menjadi
ancaman besar bagi kehancuran agama Kristen. Dengan pandangan inilah tentu saja
sama dengan pandangan negative terhadap hadis. Dan diantara pendapat keduanya,
pendangan negatiflah yang mendominasi diantara kaum orientalis.
Dengan demikian, beberapa faktor yang menyebabkan hadist
menjadi sumber kajian para Orientalis dengan
upayanya menjatuhkan Islam adalah Pertama:
memang hadits lebih mudah dikritik daripada al-Qur’an. Hal ini dikarenakan
hadits ada jauh setelah nabi wafat.
Sehingga, keotentikan hadits perlu
dipertanyakan apalagi hadits buatan orang yang kebanyakan tidak pernah bertemu
dengan nabi, Kedua: banyak lahirnya
hadits palsu setelah adanya niatan pembukuan hadits besar-besaran yang
mengakibatkan susahnya dalam membedakan mana hadiits yang shahih dan mana yang
palsu, sehingga menjadi kesempatan para orientalis dalam menkritik karya Islam
tersebut.[7]
Dalam kajian hadits itu sendiri di kalangan ummat Islam,
terutama dikalangan Muhadditsin, dikenal ada tiga wilayah yang menjadi obyek
penelitian hadits. yaitu pelacakan isnad hadits, ktirik matan dan metode kritik
perawi. Dengan tiga wilayah tersebut, para Orientalis membuka jalan mereka
untuk meneliti keotentikan sebuah hadits. Dalam hal ini para Orientalis
diuntungkan dengan adanya wilayah sensitif dalam memahami hadits, sehingga
semangat dalam penelitiannya menjadi sangat besar demi tujuan utamanya, yaitu
menjatuhkan citra Islam di mata dunia, terutama kebenaran bahwa hadits berasal
dari Muhammad. Beberapa aspek yang keluar dari pendapat mereka secara umum adalah sebagai
berikut:
1.
Pribadi
Nabi Muhammad
Menurut orientalis pribadi Muhammad perlu dipertanyakan,
mereka membagi status Muhammad menjadi tiga, sebagai utusan, kepala negara dan pribadi biasa sebagaimana kebanyakan
orang. Sesuatu yang didasarkan dari
Nabi Muhammad baru disebut hadits jika sesuatu
tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan.
Sedangkan hadits yang lain yang tidak menyangkjut keagmaan, maka hal itu tidak layak disebut dengan hadits, karena bisa
saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.[8]
2.
Asanid
(Rangkaian Perawi).
Rangkaian perowi dalam studi hadits juga menjadi
penting untuk menentukan apakah sebuah haidts tersbut asli atau bukan. Dalam
penentuan keaslian hadits, yang paling dominan adalah dari segi perowinya.
Dengan demikian, ilmu ilmu takhrijul hadits menjadi sangan penting di kalanbgan
peneliti hadits. Para orientalis dalam dalam kritikannya mengenai hadits,
meragukan sanad yang sampai kepada nabi Muhammd. Justru tingkatan hadits lebih
tinggi jika sanad perawinya sampai sebatas sahabat. Disamping itu, para
orientalis juga menganggap sanad dalam hadits adalah fiktif atau antara yang
asli dan palsu tidak bias dibedakan.[9]
3.
Aspek Matan
Para orientalis
menganggap bahwa ada kekeliruan dengan para muhadditsin. Kekeliruan tgersebut
adalah bahwa para ahli hadits penelitiannya hanya sebatas sanad. Jika sanad
sudah aman dan sudah termasuk kategori hadis shahih maka sudah final tanpa
meneliti matannya. Hanya saja, apabila matan hadits tidak sesuai al-Qur’an maka
baru dipermasalahkan. Jika matan masih bisa ditafsirkan dengan sedemikian rupa
sehingga sejajar dengan al-Qur’an, hadits demikian pun juga tidak dikritik.
Dengan demikian, para orientalis menganggap bahwa matan juga mempunyai kelemahan.[10]
Adapun
salah diantara tokoh Orietalis yang meragukan keotentikan hadis adalah sebagai
berikut:
a.
Ignaz Goldziher
Ia adalah seperti orang yang mempunyai
motivasi besar dalam menggapai sesuatu. Dicatat dalam sejarah bahwa Ignaz Goldziher ini adalah salah satu
tokoh Orientalis yang sangat gigih dalam menimba ilmu. Ia pernah belajar dengan
ulama-ulama terkenal pada masanya, seperti Syeikh Tahir al-Jazairi dari Syiria
pada tahun 1873 M. Al-Azhar yang merupakan pusat studi tertua di Mesir pun ia
kunjungi demi memperoleh ilmu dari ulama-ulama kampus tersebut. Ia dilahirkan dari keluarga Yahudi
Hungaria pada tahun 1850 M,
Ia
juga pernah belajar di
Budapest, Berlin dan Leipzig..[11] Pada
tahun 1894 dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa Semit dan pada tahun 1904
menjadi guru besar bahasa-bahasa Semit di Universitas Budapest dan meninggal
pada 13 November 1921.[12]
Dalam
pandangan Ignaz, hadist yang menjadi pegangan kedua ummat Islam setelah
al-Qur’an adalah diragukan keotentikannya sebagai sabda Nabi Muhammasd saw.[13] Menurutnya,
hadits merupakan produk yang muncul karena berbagai konflik yang terjadi saat
masa-masa kejayaan Islam yang penulisannya pun dipengaruhin oleh alira-aliran
sesuai dengan kelompok masing-masing. Hadits dipandang bukan produk sejarah
awal munculnya Islam, yaitu zaman nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan bahwa
Ignaz beranggapan hadist adalah buatan manusia beberapa abad setelah wafatnya
Nabi Muhammad yang mengindikasikan bukan asli dari Muhammad.
Pendapat
Ignaz tersebut mengundang Orientalis lain untuk mengkritik Hadits. Alfred Guillaume menjadi salah satu
orientalis yang menyetujui dan mengamini pendapat Ignaz yang Alfred sendiri
adalah salah satu Orientalis yang berasal dari Inggris.. Dalam bukunya mengenai
sejarah hadits, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat
sulit untuk mempercayai literatur hadits secara keseluruhannya sebagai rekaman
otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi SAW.[14]
Pendapat
ini disebebkan mereka meragukan bahwa tidak adanya bukti yang menunjukkan bahwa
hadits telah dicatat sejak zaman Nabi dan lemahnya ingatan para perawinya. [15] Ia
beranggapan bahwa kondisi pada saat penulisan sangat dibatasi hanya al-Qur’an.
Selain itu masyarakat Islam belum mengerti sepenuhnya mengenai dogma-dogma
keagaan serta masioh ada tumpuan yang apabila tidak mengetahiu sesuatu pasti
akan lari ke tumpuan itu, yaitu Nabi Muhammad. [16]
Kritik
Sanad yang menurut mereka sangat cocok dilakukan atau digunakan oleh ulama
klasik menjadi sangat sensitive bagi mereka. Metode ini menurut mereka
menjadikan sebuah hadits itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
karena lemahnya metode tersebut. Dengan begitu, Ignaz menawarkan metode matan
sebagai metode untuk meneliti hadits. Metode kritik matan hadits oleh
Goldziher itu berbeda dengan metode kritik matan yang dipakai oleh para ulama.
Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik,
sains, sosio kultural dan lain-lain.[17]
Hal ini sangat penting menurut mereka karena supaya mengetahui kondisi pada
saat penulisan hadits itu bagaimana sehingga tahu kualitas hadits yang sedang
diteliti itu shahih atau tidak.[18]
Salah
satu contoh bantahan orientalis terhadap hadits adalah tentang pemalsuan
al-Zuhri terhadap hadis: لا
تشد الرجال إلا على ثلاثة مساجد (janganlah
melakukan perjalanan kecuali pada tiga mesjid). Menurut Goldziher Abdul
Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila
Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh
orang-orang Syam (Syiria adan sekitarnya) yang sedang melakukan ibadah haji di
Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha
agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi
ke Qubbah Shakhra di al-Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam
kekuasaan wilayah Syam.
b.
Joseph Schacht
Orientalis yang satu ini mulai menjadi
orientalis setelah ia belajar filologi dan teologi serta bahasa-bahasa timur di
sebuah universitas, yaitu Berslaw dan
universitas Leipzig. Josepht Schahct merupakan seorang Orientalis Jerman
yang juga keturunan Yahudi yang lahir pada tanggal 15-3-1902. Ia meraih gelar doktor dari universitas Berslaw pada tahun 1923 ketika
berumur 21 tahun.[19]
Pada tahun 1925 ia
diangkat jadi dosen di Universitas Fribourg dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan
sebagi guru besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke universitas Kingsbourgh dan 2
tahun kemudian ia meninggalkan negrinya jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan
bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (universitas Cairo) di Mesir. Ia
tinggal di Mesir sampai tahun 1939 sebagai guru besar. Karena meletus perang
dunia II Schacht pindah ke Inggris dan belajar lagi di Pasca Sarjana
Universitas Oxford. Gelar doktor diraihnya pada tahun 1952. Pada tahun 1954 ia
pindah ke Belanda sebagai guru besar di universitas Leiden sampai tahun 1959.
Ia pindah lagi ke universitas Columbia New York sebagai guru besar sampai ia
meninggal pada tahun 1969.[20]
Karya fenomenal Joseph adalah The
Origins of Muhammad Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan
bukunya An-Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960.[21]
Ia mengatakan dalam bukunya bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari
Nabi Muhammad saw. Dan kalaupun ada dan bias dibuktikan, maka jumlahnya amat
sedikit sekali.[22]
Dalam mengkaji Hadits Nabawi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad
(transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadits). Sementara
kitab-kitab yang dipakai ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwatta karya
Imam Malik, kitab al-Muwatta karya Imam
Muhammad al-Syaibani, serta kitab al-Um dan al-Risalah karya
Imam al-ASyafi’i. Menurut Prof. Dr. M.M. Azami, kitab-kitab ini lebih layak
disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits. Sebab kedua jenis kitab
ini memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, meneliti hadits yang
terdapat dalam kitab-kitab fiqih hasilnya tidak akan tepat, penelitian hadits
harus pada kitab-kitab hadits.[23]
Schachtsebenarnya lebih
menyoroti bagian Sanad hadits yang berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad
hadis adalah palsu. Menurutnya, semua orang yang mengetahuibahwa sanad pada
mulanya muncul dalam bentuk yang saangat sederhana, kemudian mencapai tingkat
kesempurnaanya pada paruh kedua aabad ke tiga hijriah. Dia menyatakan bahwa
sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua hijriah dalam menyandarkan
sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai kepada Nabi
untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut.
Dengan demikian, Schacht menyodorkan
teori Projecting back,[24] yaitu
menisbahkan (mengaitkan) pendapat para ahli Fiqih abad kedua dan ketiga hijrah
kepada tokoh-tokoh terdahulu agar mendapat legitimasi dari orang-orang yang
mempunyai otoritas lebih tinggi.[25] Menurutnya
Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w 110 H) penegasan ini memberi
pengertian apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam,
maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum Islam baru dikenal
semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Para khalifah dulu tidak
pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan qadhi baru dilakukan pada masa
Dinasti Bani Ummayah.[26]
Bantahan ulama tentang pendapat Orientalis terhadap
Hadits
Usaha-usaha
para Orienytalis untuk mejatuhkan ummat Islam lewat hadits mengundang banyak
ulama dalam menanggapi keraguan para Orientalis. Salah diantara ulama yang
menyanggah pendapat Orientalis adalah Prof. Dr. Mustafa al-Syiba’i (Guru Besar
Universitas Damaskus) dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tasyri al-Islam, Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam
bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin, Prof Dr. Muhammad Mustafa
Azami (Guru Besar Ilmu Hadits Universitas King Saud Riyadh) dalam bukunya Studies
in Early Hadith Literature[27]
Mustafa
Azami dan As-Syibai menkritik pendapat orientalis yang mengatakan bahwa banyak
hadits ditulis satu abad setelah wafat nabi tahun 632 ini adalah tidak benar.
Al-Azami berpendapat bahwa para shahabat telah menuliskan hadits-hadits pada
saat nabi Muhammad masih hidup dan bahwa periwayatannya pun dilakukan secara
tertulis hingga hadits-hadits itu dikodifikasikan pada abad ke tiga
hijriah. Menurut Tirmidzi, ada beberapa shahabat yang memiliki dokumen hadits
antara lain Ibnu Sa’ad Bin Ubadah Al-Ansary, Abdullah bin Abi Aufa, yang
menulis shahifah sendiri, dan Samrah bin Zundar. Orang yang pertama menuliskan
kitab hadits yang dikenal dengan Ibnu Syihab Az-Zuhri.[28] Di
samping itu, masih banyak sahabat lain yang mempumyai naskah-naskah hadits,
kurang lebih 52 shahabat. Selain
sahabat, para tabi’in juga mempunyai naskah yang serupa, para tabi’in tersebut
berjumlah kurang lebih 247 Tabi’in (generasi sesudah shahabat)[29]
Mengenai
hadist yang disanggah oleh Ignaz yang menurutnya hadits tersebut dibuat dengan adanya persekongkolan antara pembuat hadits
dan pengauasa waktu itu menurut Azami tidak benar adanya. Hal ini dikarenakan,
menurut sejarah tentang kelahiran al-Zuhri sendiri yang merupakan pembuat
hadits masih menjadi pertentangan,di kalangan sejarawan antara tahun 50 sampai
58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abd al-Malik bin Marwan sebelum
tahun 81. Tentang pembangunan Qubbah Sakhra menurut kesimpulan Azami
terjadi pada tahun 68 H, karena Pada tahun tersebut
orang-orang dari Dinasti Bani Umayah berada di Mekah pada musim haji.[30]
Dengan demikian, sangat tidak bisa dilogika apabila
al-Zuhri membuat Hadits atas persekongkolannya denagn Dinasti Umayyah karena
apabila ditelusuri, umur al-Zuhri pada waktu itu baru sekitar 10 sampai 18
tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan
tahun sudah populer sebagai seorang intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di
luar daerahnya sendiri, dimana ia mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Mekkah
ke Jerusalem. [31] Di
samping itu, menurut ulama lain yaitu As-Syibai bahwa al-Zuhri bukanalh seorang
ulama yang begitu gampang diminta sesuatu oleh penguasa. Hal ini dikarenakan
beliau bukan abdi penguasa yang taat. Justru, beliau adalah seorang ulama yang
independent yang taat agama dan jarang melakukan kesalahan atau kebohongan
seperti yang dikatakan oleh orang sekitarnya.[32]
Mengenai Joseph Schacht dengan teorinya Projecting Back,
al-Azami mencoba menyanggah teori tersebut dengan melakukan penelitian tentang
hadits yang diteliti oleh Schacht. Salah satu penelitiannya adalah naskah milik
Suhail bin Abi Shalih (w. 138 H). Abu Shalih adalah murid Abu Hurairah shahabat
Nabi. Jikalau demikian, maka sanadnya menjadi: Nabi s.a.w–Abu Hurairah–Abu Shalih – Suhail. Sedangkan, pada sanad
ketiga ini yaitu Suhail, al- Azami berhasil membuktikan bahwa pada masa itu jumlah
rawi yang sama berkisar antara 20 sampai 30 orang. Jika dilihat dari segi
tempat tinggal mereka jaraknya sangat jauh karena berpencar-pencar dari antara
India samapi dengan Maroko dan antara Turki sampai ke Yaman. Adapun dari segi
redaksi hadits atau bisa disebut dengan matan hadits, redaksinya sama dengan
yang diriwayatkan oleh Suhail. Dengan
demikian, disini al-Azami mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin terjadi
terdapat hadits yang sama dengan jumlah yang demikian mereka pernah berkumpul
untuk membuat hadits palsu dengan kondisi dan situasi pada saat itu. Dan sangat
mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadits, kemudian
generasi-generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadits yang mereka buat
itu sama.[33]
Sedangkan, Schacht yang dalam penelitiannya mengambil
kitab-kitab yang menurut al-Azami adalah kitab Fiqh, maka Menurutnya,
teori Scacht tentang projecting back adalah salah kaprah. Hal
ini dikarenakan fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqh adalah ijtihady. Oleh
sebab itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat
pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayyah.
Kesimpulan
Serangan
orientalis terhadap hadits dilancarkan secara bertahap, terencana dan
bersama-sama. Ada yang menyerang matannya, seprti Ignaz. Sanad seperti Joseph
Schacht. Serangan mereka diarahkan
ke semua kategori. Meskipun semua tokoh yang terlibat dalam penkritikan hadits
dari golongan orientalis pemakalh tidak semua disebutkanb, namun dari kedua
tokoh diatas agaknya sudah mewakili dari semua tokoh. Hal ini dikarenakan,
tokoh lain hanya pengembang dari oendapat sebelumnya.
Tulisan-tulisan
orientalis mengenai sumber ajaran agama Islam, terutama hadits oleh pembaca
harus kritis dan waspada. Jangan terlena dengan pendapat-pendapat mereka yang
bertujuan menghancurkan panji-panji Islam di mulai dengan sumber ajarannya. Goldziher dan Schacht sebagai orientalis yang
terkemuka dan berpengaruhmemiliki pandangan bahwa hadits itu diragukan
otentisitasnya sebagai sabda Nabi s.aw. menurut mereka hadits adalah buatan
para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
bukan berasal dan tidak asli dari beliau, dengan alasan ketidakmungkinan
keshahihan hadits dalam masyarakat Islam pada abad pertama, kemudian Goldziher
menawarkan metodenya dengan menggunakan kritik matan. Sementara
menurut Schacht sanad mulai dari sumber pertama sampai yang terakhir, yang
atas mereka keaslian sebuah hadits disandarkan pada Nabi SAW menurut
otentisitasnya sangat diragukan. Untuk membuktikan kepalsuan-kepalsuan itu ia
lalu menyodorkan teori Projecting back.
Sanggahan-sanggahan dilakukan oleh para Ulama hadits
untuk merontokkan teori-teori mereka. Dan ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan bahwa adanya sekumpulan subjektivitas paradoks dari keduanya
sebagai orientalis yang setidaknya menyimpan misi-misi tersendiri untuk
menyudutkan Islam dibalik kacamata orientalisme, yang sesungguhnya merupakan
neo-kolonialisme atas belahan dunia Timur, khususnya kawasan Islam. Kemudian
mereka memiliki kemampuan yang terbatas dalam metodologi dan teknik memahami
hadits dengan tanpa mempertimbangkan hal-hal lain dibalik maksud dari hadits
tersebut.
Daftar Pustaka
Arif,
Syamsuddin. 2005. Hadits Nabi,
Otentisitas dan Upaya Dentruksinya, Jurnal Al-Insan Jakarta: Lembaga Kajian
dan Pengembangan Al-Insan.
Arifin, Tajul.
2009. The Application Of “Unity
Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its Validity,
Critique to the Critique of Orientalis, Bandung, Inaugural Speech.
Azami,
Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadits
Methology and Literature, American Trust Publication: America.
Darmalaksana, Wahyudin. 2004. Hadits dimata
Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press.
Juyhnbool, G.H.A. 1999. Kontroversi Hadits di
Mesir, Bandung : Mizan.
Juyhnbool, G.H.A. 1999. The Authenticity of
Tradition Literature Discussions in Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan Bandung
: Mizan.
Idri.
2010. “Studi Hadis”, Kencan Predana Media Grup: Jakarta.
King,
Richard. 2011. Agama, Orientalisme, dan
Poskolonialisme (Terj.), (Penerbit Qalam: Yogyakarta.
Miftahul
Asror dan Imam Musbikin. 2015. “Membedah
Hadis Nabi SAW, Kaidah dan sarana studi hadis serta pemahamannya”, Jaya
Star Nine: Jawa Timur.
Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis,
(http://moenawar.multiply.com/journal/item/5), Senin, 23 April 2018
Schacht,
Joseph. 1959. The Origins of Muhammad
Jurisprudence, cetakan kedua Oxford: Clarendon Press.
Syamsuddin Arif, Orientalis Menggugat Hadits http://www.inpasonline.com/
tanggal 23 April 2018
Yaqub, Ali Mustafa. 1996. Kritik Hadits, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
[1] Miftahul Asror dan Imam
Musbikin, “Membedah Hadis Nabi SAW,
Kaidah dan sarana studi hadis serta pemahamannya”, (Jaya Star Nine: Jawa
Timur, 2015), h. 507
[2] Idri, “Studi Hadis”, (Kencan
Predana Media Grup: Jakarta, 2010), h. 305
[3] Richard King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme
(Terj.), (Penerbit Qalam: Yogyakarta, 2001) hal. 162-163
[4] Miftahul Asror dan Imam
Musbikin, “Membedah Hadis Nabi SAW,
Kaidah dan sarana studi hadis serta pemahamannya”, hal. 508-509
[5] Idri, “Studi Hadis”, hal.
306-307
[6] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadits Methology and Literature, (American
Trust Publication: America, 1977). Hal.94
[8]
Munawar, Hadits, Dalam Pandangan Orientalis, (http://moenawar.multiply.com/journal/item/5), Senin, 23 April 2018
[9] Tajul Arifin, The Application
Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadits And Determining Its
Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung, Inaugural
Speech, 2009). Hal. 7
[10] G.H.A.
Juyhnbool, The Authenticity of Tradition Literature Discussions in
Modern Egypt,, trj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1999),
hlm 202
[15] Syamsuddin Arif, Hadits Nabi, Otentisitas dan Upaya
Dentruksinya, Jurnal Al-Insan (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan
Al-Insan, 2005), hal. 11
[16] Wahyudin
Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, (Bandung: Benang Merah
Press, 2004), hal. 97-98
[17]Ali
Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 15
[22] Joseph Schacht, The Origins
of Muhammad Jurisprudence, cetakan kedua (Oxford: Clarendon Press, 1959),
hal. 149
[24]
Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, hal. 115
[25]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, hal. 27
[26]
Wahyudin Darmalaksana, Hadits dimata Orientalis, hal. 21
[28] Tajul
Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of
Al-Hadits And Determining Its Validity, Critique to the Critique of
Orientalis, (Bandung, Inaugural Speech, 2009), hlm 5-6
[33] Ali Mustafa Yaqub, Kritik
Hadits, hal. 28