Senin, 12 Februari 2018

SUNNAH DAN BID’AH PERSPEKTIF PARA ULAMA’


SUNNAH DAN BID’AH PERSPEKTIF PARA ULAMA’
Tulisan ini disusun guna memenuhi persyaratan tugas akhir kuliyah










Disusun Oleh :
Mohamad Lutfi Hakim
1500018043


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016


A.. LATAR BELAKANG
Dalam  konteks agama islam ada pembahasan yang di sebut oleh bid’ah.  Hal ini  yang menjadi probematika pada zaman dulu sampe sekarang karena posisinya masih diperdebatkan oleh para ulama’.  Secara garis besar memang nabi hidup dalam usia yang sangat singkat  sehingga tidak menutup kemungkinan tidak semua ajaran yang beliau bawa bisa sampe ke telinga semua umatnya.  Dengan demikian banyak sekali praktik praktik ibadah yang peaksanaanya tidak diberikan contoh oleh nabi.
Dalam konteks Indonesia, ajaran islam masuk tidak yang pertama kali melainkan sebelumnya sudah ada agama hindu dan budha. Pada masa ini di nusantara sudah ada tradisi dan ritual keagamaan yang sudah lama dipraktekan, sehingga sampai munculnya para walisongo tradisi tradisi tersebut bisa diodifikasi dengan nilai islami. Namun jika diakitak dengan pembahasan sunah dan bid’ah di atas tentu mengalami  kesenjangn keagamaan sebab banyak sekali praktik-praktik keagamaan yang sebetulnya belum di ajarkan oleh nabi tetapi di nusantara sudah banyak di praktikan. Kemudian yang menjadi permasalahn pula adalah ajaran islam tidak datang yang pertama kali tetapi sebelumnya di nusantara sudah ada tradisi atau ritual keagamaan yang ratusan bahkan ribuan tahun sudah di jalankan. Denggan demikian, makalah mengenahi sunah dan bid;ah semoga menjadi pengantar pemahamn terkait dengan sunah dan bid’ah
B. PEMBAHASAN
1.  Definisi sunah dan bid’ah
Seperti yang  telah  sampaikan  latar belakang  masalah, bahwa pembahasan mengenahi sunah dan bid’ah hendaknya dimulai dari pembahasan definisi. Secara bahasa (etimologi) kata sunah adalah jalan/aturan/ cara berbuat atau tingkah aku kehidupan). Pengertian secara bahasa ini ini sesuai denganungkapan hadis:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ »
Artinya: barang siapa dalam islam meberikan contoh  yang baik kemudian orang orang sesudahnya mengamalkanya maka ditentukan baginya pahala sebagaimana  orang orang yang mengamalkanya ataupun sebaliknya.[1]
Kemudian pengertian sunah secara termonilogi  para ulama’ berbeda beda baik dari ulama’ hadis, fikih dan ushul  hadis  sebab mereka mempunyai cara pandng sendiri  ketika melihat posisi nabi.  Para ulama’hadis memandang nabi sebagai imam/panutan jadi apapun yang keuar dari  nabi baik perbuatan, ucapan dan ketetapan  beiau maka ini dijadikan patokan oleh mereka. berbeda dengan uama’ ushul fikih dan fikih yang melihat nabi sebagai prodak hukum maka yang diihat dari dua ulama’ ini adalah sisi hukumnya saja sedangkang sisi manusiawinya tidak. [2]
Kemudian bid’ah secara etimologi yaitu sesuatu hal yang baru/permualaan. Sedangkan secara terminology yang dunamakan bid’ah adalah praktik peribadahan yang sebelunya tidak atau belum diberikan contohnya aatau jika dikontekskan dengan nabi, maka ia beum pernah memberikan contoh kepada umatnya[3].  Namun yang menjadi titik point dalam pengertian ini adalah bahwa hal baru yang dimksud hanya dalam hal agama saja. Dengan demikian, jika ada pembaharuan dalam hal politik, ekonomi dan sebagainya maka itu adalah sebuah perkembangan pengetahuan.
 
2.  Teks hadis tentang sunah dan bid’ah
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلاَلِىُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Artinya “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak”[4]

وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ « صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ ». وَيَقُولُ « بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ ». وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ». ثُمَّ يَقُولُ « أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَىَّ وَعَلَىَّ ».
Artinya: “Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan [5]
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
Artinya“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka [6]

Dalam riwayat lain juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Artinya:“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan [7]
Dari beberapa teks hadis di atas  bisa dismmpulkan bahwa meakukan praktik keagamaan yang baru atau sebeunya tidak pernah diakukanoleh nabi maka hukummnya dilarang. Namun hemat saya larangan ini hanya terfokus dalam masah agama.  Sedangkan urusan sosial dan ekonomi maka hukumnya adalah fleksibel.  Seperti yang telah diceritakn dalam sebuah riwayat yang mengatakan bahwa suatu hari ketiak rasulullah memberikan saran kepadapetani kurmanamun saran tersebut tidak menjadi kesuksesan melainkan menjadikan kerugian bagi petani tersebut.  Hingga akhirnya nabi bersabda kalian ebih tau dari urusan dunia kaian.  Inimenunjukan bahwa pengertian bid;ah harus di batasi maslah agama agar pemhamanya tidak terllau melebar.
2.  pendapat ulama’ tentang sunah dan bid’ah
Menurut Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid'ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi'i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid'ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW, dan hal ini tebagi pada bid'ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.
Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid'ah ini: Bid'ah wajib Seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid'ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,
‫مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ    

artinya: "Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya."

Kemudian bid'ah haram Seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji'ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur'an adalah produk budaya,dan paham bahwa zamantini masih jahiliyah sehingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya. Bid'ah sunahSeperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum'at. Bid'ah makruh Seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur'an. bid’ah mubah, Seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi SAW, berdoa dan membaca Al Qur'an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan. Mengenai bid'ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.[8]
Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid'ah ini ada dua pandangan para ulama:
  1. Seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid'ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid'ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid'ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid'ah yang tercela apalagi sesat.
  2. Pandangan perincian macam-macam bid'ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid'ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid'ah yang sesat dan fasiq (wal 'iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam.[9]
C. KESIMPULAN
Jadi bisa diambil  kesimpulan bahwa melakukan suatu ibadah yang baru atau sebelumnya tidakdiajarkan oleh nabi berate bid’ah.  Namun pengertian bida’ah ini harus disempitkan dengan masalah agama saja. Tidak  bisa seperti maslah ekonomi sosial bahkan politik dihukumi bid’ah sebab keberadaanya yang sangat flexsibel.






DAFTAR PUSTAKA

Abd ar Rahman, Ahmad bin Syuaib Abu, Sunan an Nasa’I, Beirut: Maktabah al Mabthu’ah al Islamiyah,  1986.
Abu al Husain bin Hajaj, Shahih muslim, Beirut : Dar al-Afaq al-Jadidah,   jus 5 Hal. 132.
Abu Abdullah, Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Maktabah Abi al Maktabah, jus 1, 1986.
Ahmad bin Ali bin Abi Yahya, Sunan Abu Ya’la, Beirut: Dar Al- Ma’mun: Damaskus, 1984.

Idri, Study Hadis, Jakarta; Kencana, 2010.
Daniel Juned, Ilmu Hadis, Jakarta: Erlangga, 2010.

Tramizi M Zakfar, Otoritas sunah non Tasyriiyah Menurut Yusuf Qadhawi,  Jakarta : Ar Ruz Media, 2014



[1] Mohamad bin Ibrahim bin Mughirah Al Bukhari,, Shahih al Bukhari, Beirut: Dar as Sya’ab, 1987. Hal. 86.
[2] Idri, Study Hadis, Jakarta; Kencana, 2010,hal. 2. Lihat juga: Daniel juned, ilmu hadis, Jakarta: erlangga, 2010,  hal. 13
[3]Imam Barudin  Mahmud bin Ahmad,’Umdatul Qari, jus 11,hal. 26.
[4]Abu al Husain bin Hajaj, Shahih muslim, jus 5 Hal. 132. Lihat juga: Ibnu Majah Abu Abdullah, Sunan Ibn Majah, Maktabah Abi al Maktabah, jus 1, Hal 10.
[5] Abu al Husain bin Hajaj, op. cit, hal. Jus 3,hal.11
[6] Ahmad bin Syuaib Abu Abd ar Rahman, Sunan an Nasa’I, Maktabah al Mabthu’ah al Islamiyah,  1986, Jus 3 , Hal. 185
[7] Ahmad bin Ali bin Abi Yahya, Sunan Abu Ya’la, Dar Al- Ma’mun: Damaskus, 1984, jus 4, hal.  90
[8]Tramizi M Zakfar, Otoritas sunah non tasyriiyah menurut menurut yusuf qradhawi,  Jakarta : Ar Ruz Media, 2014. Hal. 237
[9] Lihat juga:  Tramizi M Zakfar, Otoritas sunah non tasyriiyah . Hal. 237

1 Komentar:

Pada 4 Maret 2022 pukul 23.28 , Blogger Unknown mengatakan...

Hotels near Wynn Casino and Tower - Mapyro
Hotels 1 - 12 of 의왕 출장샵 63 — Looking 김해 출장마사지 for hotels near 강원도 출장안마 Wynn 충청북도 출장안마 Casino and Tower in Las Vegas, NV? Choose from 19 hotels within a 15-minute 강원도 출장안마 drive, with recommendations, reviews and Uber

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda