Senin, 12 Februari 2018

ILMU PENGETAHUAN, ANTARA SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA ISLAM


ILMU PENGETAHUAN, ANTARA SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA ISLAM
Tulisan ini disusun guna memenuhi persyaratan tugas akhir kuliyah










Disusun Oleh :
Mohamad Lutfi Hakim
1500018043


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016



A.    Posisi ilmu pengetahuan dalam pandangan islam
Perkembangan sejarah ilmu pengetahuan Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya adalah  ajaran yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, hal ini  sudah terlihat dari pesan yang terkandung dalam al-Qur’an yang diwahyukan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat  al-‘Alaq dengan diawali kata perintah  Iqra yang berarti (bacalah). Gairah intelektualitas di dunia Islam ini berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami titik kegelapan, Sebagaimana  dikatakan oleh Josep Schumpeter dalam buku magnum opus-nya yang menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai darkages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan  oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah  yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat. Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu  keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[1]
Ilmu pengetahuan menurut historisnya, seperti yang pernah disampaikan oleh Harun Nasution, bahwa keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu  dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[2] Sedangkan W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada sekitar tahun 900 M ke Baghdad.[3] Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti: Al-hawi karya al-razi (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. 22 Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.[4]
Dalam bidang kimia ada Jabir ibn Hayyan (Geber) dan al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jabir ibn Hayyan memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Biuni mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.[5]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindi, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Bajah atau Avempace (w.1138 M), Ibn Tufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindiberjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Farabi. Al-Kindisangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[6]
Menurut Betrand Russell, Ibn Rush lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[7]
Bagi kaum filosofis seperti yang dijelaskan di atas, ilmu pengetahuan menurut mereka sangat penting. Seperti kutipan “Ketahuilah apa yang kamu tahu dan ketahuilah apa yang tidak kamu ketahui”. Kata-kata tersenut sering menjadi jawaban mereka jika ditanya tentang bagaimana cara mengetahui kebenaran. Seperti yang kita tahu, bahwa sifat manusia adalah selalu dinamis, dimana akal fikiran manusia yang menjadi modal utama dan suatu keunngulan ciptaan Tuhan yang selalu merasa ingi tahu tentang hakikat suatu kebenaran yang terbungkus rapi menjadi teori dan seterusnya menjadi sumbangsih bagi ilmu poengetahuan manusia.
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarawan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans.[8]
Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang karena semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen semakin ditinggalkan karena semangat humanisme.Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah
berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa latin. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[9]

B.     Perjalanan Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam
Untuk memahami sejarah perjalanan ilmu pengetahuan pada masanya, di sini telah dilakukan elaborasi dan klasifikasi atau pembagian secara garis besar. Berikut adalah uraian singkat dari masing-masing periode atau sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Kalau pengetahuan lahir sejak manusia pertama diciptakan, maka perkembangannya sejak jaman purba. Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.[10]
Sedangkan George J. Mouly membagi perkembangan ilmu menjadi tiga (3) tahap yaitu animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. George J. Mouly dalam bukunya Jujun S Suriasumantri, (1985:87) menjelaskan bahwa permulaan ilmu dapat ditelusuri sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan. dunia. Usaha mula-mula di bidang keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir dimana banjir Sungai Nil terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya sistem almanak, geometri dan kegiatan survey.[11]
George J. Mouly menjelaskan bahwa pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum berubah menjadi logosentris. Sebagai contoh, gempa bumi pada saat itu tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kualitas.[12]
Dari hal tersebut diketahui bahwa proses berpikir manusia menuntut mereka untuk menemukan sebuah metode belajar dari pengalaman dan memunculkan keinginan untuk menyusun sesuatu hal secara empiris, serta dapat diukur. Dalam sejarah mencatat bangsa Yunanilah yang pertama diakui oleh dunia sebagai perintis terbentuknya ilmu karena telah berhasil menyusunnya secara sistematis. Implikasi dari hal tersebut manusia akan mencoba merumuskan semua hal termasuk asal-muasal mitos-mitos karena mereka menyadari bahwa hal tersebut dapat dijelaskan asal-usulnya dan kondisi sebenarnya. Sehingga sesuatu hal yang tidak jelas yang hanya berupa tahu atau pengetahuan dapat dibuktikan  kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan pada saat itu. Dari sinilah awal kemenangan ilmu pengetahuan atas mitos-mitos, dan kepercayaan tradisional yang berlaku di masyarakat.[13]
Sedangkan perkembangan sejarah ilmu pengetahuan Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya adalah  ajaran yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, hal ini  sudah terlihat dari pesan yang terkandung dalam al-Qur’an yang diwahyukan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat  al-‘Alaq dengan diawali kata perintah  iqra yang berarti (bacalah). Gairah intelektualitas di dunia Islam ini berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami titik kegelapan, Sebagaimana  dikatakan oleh Josep Schumpeter dalam buku magnum opus-nya yang menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai darkages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan  oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah  yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat. Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu  keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[14]
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu  dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[15] Sedangkan W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada sekitar tahun 900 M ke Baghdad.[16] Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti: Al-hawi karya al-razi (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. 22 Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.[17]
      Dalam bidang kimia ada Jabir ibn Hayyan (Geber) dan al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jabir ibn Hayyan memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Biuni mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.[18]
      Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindi, al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Bajah atau Avempace (w.1138 M), Ibn Tufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindiberjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Farabi. Al-Kindisangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[19]
      Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[20]
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Agak sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman renaisans, dan zaman modern.Sementara orang menganggap bahwa zaman modern hanyalah perluasan dari zaman renaisans.

C.     Konstruk ilmu pengetahuan 
Manusi diberi kelebihan yang tidak dimilikii oleh ciptaan lainnya, yaitu akal. Akal inilah yang menuntun manusia untuk hidup sesuai dengan aturan dan layaknya sebagai manusia. Ilmu menjadi salah satu penunjang akal yang akan membimbing manusia pada fitrah dan kodratnya. Ilmu jugalah yang akan membawa pada suatu kebenaran yang kenyataannya kebenaran tersebut bersifat relative. Setidaknya, ilmu inilah yang akan menjadikan manusia dekat dengan kebenaran. Bias diibaratkan kebenaran adalah suatu bangunan gedung yang megah, maka ilmu inilah ibarat besi atau bahan-bahan yang menjadikan gedung tersebut bersifat kokoh dan sebagaimana bentuknya.
Dengan demikian, jika kita ingin mengenal adanya kebanaran yang dibantu oleh ilmu, maka konstruksi-konstruksi ilmu itu harus kita kuasai, begitu juga dengan pengandaian suatu gedung tersebut bahwa untuk membangun gedung yang megah dan bagus harus disertai dengan konstruksi-konstruksi bangunan yang kuat dan mendukung bangunan tersebut. Akan tetapi, jangan disama ratakan bahwa kebenaran ini harus berdasarkan ini, karena pandangan setiap manusi berbeda dan itu sudah menjadi kewajiban bahwa memandang sesuatu tidak bias hanya pada satu sisi, melainkan banyak sisi. Jadi obyek dari suatu ilmu oengetahuan yang sebenarnya adalah suatu “pertanyaan” uang didasari rasa ingin tahu akan sesuatu tersebut. Dari pertanyaan inilah yang akan membangun adanya ilmu pengetahuan yang sampai sekarang berkembang pesat dan bermacam-macam cabang ilmu pengetahuaan.
Mepelajari filsafat pendidikan islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh (universal)tentang pendidikan, yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama islam saja, tetapi menuntut kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.[21]Tradisi filsafat apa pun dan di mana pun, adalah suatu berpikir dialektis dari tingkat metafisis, teoritis, sampai pada tingkat praktis. Tingkat metafisis disebut ontologi, tingkat teoritis disebut epistemologi, dan tingkat praktis disebut aspek aksiologi atau etis. Jika diterapkan pada kegiatan pendidikan, aspek ontologi berkaitan dengan keberadaan manusia, yakni berupa pandangan hidup atau philosophy of life dari manusia sebagai pelaku utama pendidikan, sedemikian rupa sehingga berpengaruh terhadap tujuan yang diinginkan dan diusahakan untuk dicapai oleh manusia itu sendiri. Adapun aspek epistemologi, menekankan pada keseluruhan upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan, yakni berupa aktivitas belajar dan mengajar, mendidik, membimbing, melatih, menilai, dan lain sebagainya. Dan aspek aksiologi atau etis berkaitan erat dengan nilai-nilai atau perubahan perilaku yang dihasilkan dari keseluruhan proses/aktivitas pendidikan,yaitu berupa kematangan spiritual, kematangan emosional,kematangan intlektual, dan keterampilan anggota badan.[22]
Ketiga aspek filsafat pendidikan tersebut, saling berhubungan antarsatu dengan yang lainnya secara kausalistik. Aspek ontologi mendasari aspek epistemologi, dan aspek epistemologi memberikan jalan atau metode kepada aspek aksiologi, sedangkan aspek aksiologi merupakan hasilnya.
Lalu apa yang menjadi objek kajian filsafat pendidikan islam itu? Dari segi objeknya setiap disiplin ilmu selalu dibedakan menjadi dua yaitu objek materi dan objek forma. Objek materi merupakan bahan baku utama dari ilmu pengetahuan yang lebih umum dan berdimensi makro. Adapun objek forma adalah sesuatu yang menjadi fokus kajian (focuse of stuy) atau sudut pandang (point of view) tertentu dari sesuatu hal, yang bersifat lebih spesifik, dan berdimensi mikro. Objek forma inilah yang membedakan antara satu disiplin ilmu dan disiplin ilmu lainnya.\
Objek materi filsafat pendidikan islam adalah sama dengan objek materi filsafat maupun filsafat islam yaitu segala realitas yang ada yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Baik ada yang bersifat fisik, empirik, maupun ada yang nonfisik, metafisik. Adapun objek forma filsafat pendidikan islam adalah hakikat manusia dari sudut pandang pendidikan islam (Islamic education point of view), sebagai upaya mamnusia untuk memahami Tuhan, alam, dan manusia itu sendiri. sehingga manusia akan dapat mengerti siapa Tuhannya, dirinya, dan alam semesta.
Secara lebih terperinci dapat dijelaskan bahwa filsafat pendidikan islam berfokus pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pendidikan, diantaranya: Apa sesungguhnya tujuan pendidikan islam itu? Dan pertanyaan turunannya: Apa hakikat manusia? Bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan? Apa standar moral yanng harus dipegang manusia?.[23]


[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), cet. Ke-2, hlm. 128
[2] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), hlm.7
[3] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 44-45.
[4] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta : Liberty, 19W. Montgomery Watt
[5] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 60-61
[6] Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 209-210
[7] Russell Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, hlm 567.
[8] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 50
[9] K. Bertens,Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 32.
[10] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2013 edisi revisi), hlm.21-27. Berbeda
[11] George J. Mouly, Perkembangan Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu,Jujun S. Suriasumantri, hlm. 87
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), cet. Ke-2, hlm. 128
[15] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), hlm.7
[16] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 44-45.
[17] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta : Liberty, 19W. Montgomery Watt
[18] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 60-61
[19] Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 209-210
[20] Russell Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang, hlm 567.

[21] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)
[22] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 93-94
[23] Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: kencana, 2017), hlm. 88-89

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda