ILMU PENGETAHUAN, ANTARA SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA ISLAM
ILMU
PENGETAHUAN, ANTARA SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA ISLAM
Tulisan ini disusun guna memenuhi persyaratan tugas
akhir kuliyah
Disusun Oleh :
Mohamad Lutfi Hakim
1500018043
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2016
A. Posisi
ilmu pengetahuan dalam pandangan islam
Perkembangan
sejarah ilmu pengetahuan Tidak terbantahkan bahwa Islam sesungguhnya
adalah ajaran yang sangat cinta terhadap
ilmu pengetahuan, hal ini sudah terlihat
dari pesan yang terkandung dalam al-Qur’an yang diwahyukan pertama kali kepada
Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq
dengan diawali kata perintah Iqra’ yang berarti (bacalah). Gairah intelektualitas di dunia Islam ini
berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami titik kegelapan,
Sebagaimana dikatakan oleh Josep
Schumpeter dalam buku magnum opus-nya yang menyatakan adanya great gap dalam
sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai
darkages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat
Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan
oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom
Barat. Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah kekuasaan Islam terjadi
perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan
lebih berkutat pada isu-isu keagamaan,
maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap
karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[1]
Ilmu pengetahuan
menurut historisnya, seperti yang pernah disampaikan oleh
Harun Nasution, bahwa
keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi
tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam
al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu
dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani
yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik,
seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra
(Persia).[2] Sedangkan W. Montgomery Watt
menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh
orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan
di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria,
Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada
sekitar tahun 900 M ke Baghdad.[3]
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan
perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti:
Al-hawi karya al-razi (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan
ilmu kedokteran sampai masanya. 22 Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu
kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku
kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa.
Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun
825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis
perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan cara
desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198)
seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al
Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu
untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.[4]
Dalam bidang kimia ada Jabir ibn Hayyan (Geber) dan
al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jabir ibn Hayyan memaparkan
metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya.
Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang
belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Biuni mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.[5]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat
Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindi, al-Farabi (w. 950
M), Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Bajah atau
Avempace (w.1138 M), Ibn Tufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau
Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindiberjasa membuat
filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam
Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya
kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Farabi. Al-Kindisangat ingin
memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab,
seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang
menolak pengetahuan asing.[6]
Menurut Betrand Russell, Ibn Rush lebih terkenal dalam
filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah
berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat
besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar
pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut
Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama
adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn
Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai
membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya
yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[7]
Bagi kaum filosofis seperti
yang dijelaskan di atas, ilmu pengetahuan menurut mereka sangat penting. Seperti
kutipan “Ketahuilah apa yang kamu tahu
dan ketahuilah apa yang tidak kamu ketahui”. Kata-kata tersenut sering
menjadi jawaban mereka jika ditanya tentang bagaimana cara mengetahui
kebenaran. Seperti yang kita tahu, bahwa sifat manusia adalah selalu dinamis,
dimana akal fikiran manusia yang menjadi modal utama dan suatu keunngulan
ciptaan Tuhan yang selalu merasa ingi tahu tentang hakikat suatu kebenaran yang
terbungkus rapi menjadi teori dan seterusnya menjadi sumbangsih bagi ilmu
poengetahuan manusia.
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama
yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarawan biasanya menggunakan istilah
ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di
Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Agak
sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman
renaisans, dan zaman modern. Sementara orang menganggap bahwa zaman modern
hanyalah perluasan dari zaman renaisans.[8]
Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang
terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern.
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang
mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme,
individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme. Sains berkembang
karena semangat dan hasil empirisisme, sementara Kristen semakin ditinggalkan
karena semangat humanisme.Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah
berlangsung sejak abad ke-12 M itu menimbulkan gerakan
kebangkitan kembali (renaisance) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M.
Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui
terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali
ke dalam bahasa latin. Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol
dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan
penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah kebangkitan kembali kebudayaan
Yunani klasik (renaisance) pada abad ke-14 M, rasionalisme pada abad ke-17 M,
dan pencerahan (aufklarung) pada abad ke-18 M.[9]
B. Perjalanan Ilmu Pengetahuan dalam Dunia Islam
Untuk
memahami sejarah perjalanan ilmu
pengetahuan pada masanya, di sini
telah dilakukan elaborasi dan klasifikasi atau pembagian secara garis besar.
Berikut adalah uraian singkat dari masing-masing periode atau sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa. Kalau pengetahuan lahir sejak
manusia pertama diciptakan, maka perkembangannya sejak jaman purba. Secara
garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam,
pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.[10]
Sedangkan George J. Mouly membagi perkembangan ilmu menjadi
tiga (3) tahap yaitu animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. George J. Mouly
dalam bukunya Jujun S Suriasumantri, (1985:87) menjelaskan bahwa permulaan ilmu
dapat ditelusuri sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa
manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang
memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan. dunia. Usaha mula-mula di bidang
keilmuan yang tercatat dalam lembaran sejarah dilakukan oleh bangsa Mesir
dimana banjir Sungai Nil terjadi tiap tahun ikut menyebabkan berkembangnya
sistem almanak, geometri dan kegiatan survey.[11]
George J. Mouly menjelaskan bahwa pada tahap animisme,
manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan
dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir
mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum
berubah menjadi logosentris. Sebagai contoh, gempa bumi pada saat itu tidak
dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan
kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak
lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara
kualitas.[12]
Dari hal tersebut diketahui bahwa proses berpikir
manusia menuntut mereka untuk menemukan sebuah metode belajar dari pengalaman
dan memunculkan keinginan untuk menyusun sesuatu hal secara empiris, serta
dapat diukur. Dalam sejarah mencatat bangsa Yunanilah yang pertama diakui oleh
dunia sebagai perintis terbentuknya ilmu karena telah berhasil menyusunnya
secara sistematis. Implikasi dari hal tersebut manusia akan mencoba merumuskan
semua hal termasuk asal-muasal mitos-mitos karena mereka menyadari bahwa hal
tersebut dapat dijelaskan asal-usulnya dan kondisi sebenarnya. Sehingga sesuatu
hal yang tidak jelas yang hanya berupa tahu atau pengetahuan dapat
dibuktikan kebenarannya dan dapat
dipertanggungjawabkan pada saat itu. Dari sinilah awal kemenangan ilmu
pengetahuan atas mitos-mitos, dan kepercayaan tradisional yang berlaku di
masyarakat.[13]
Sedangkan
perkembangan sejarah ilmu pengetahuan Tidak terbantahkan bahwa Islam
sesungguhnya adalah ajaran yang sangat
cinta terhadap ilmu pengetahuan, hal ini
sudah terlihat dari pesan yang terkandung dalam al-Qur’an yang
diwahyukan pertama kali kepada Nabi Muhammad saw, yaitu surat al-‘Alaq dengan diawali kata perintah iqra yang berarti (bacalah). Gairah
intelektualitas di dunia Islam ini berkembang pada saat Eropa dan Barat mengalami
titik kegelapan, Sebagaimana dikatakan
oleh Josep Schumpeter dalam buku magnum opus-nya yang menyatakan adanya great
gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal
sebagai darkages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa
kegemilangan umat Islam, suatu hal yang berusaha disembunyikan oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim
pada masa inilah yang kemudian banyak
dicuri oleh para ekonom Barat. Pada saat itulah di Timur terutama di wilayah
kekuasaan Islam terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa
pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam
melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan
berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[14]
Menurut Harun Nasution, keilmuan
berkembang pada zaman Islam
klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana
tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis.
Persepsi ini bertemu dengan persepsi
yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[15] Sedangkan W. Montgomery Watt
menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh
orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan
di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria,
Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada
sekitar tahun 900 M ke Baghdad.[16]
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan
perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti:
Al-hawi karya al-razi (850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh
perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. 22 Rhazas mengarang suatu
Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037)
menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu
kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku
Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia
juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan
penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd
(1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya
Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang
dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan
Sicilia.[17]
Dalam bidang kimia ada Jabir ibn Hayyan
(Geber) dan al-Biruni (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jabir ibn Hayyan
memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia
yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Biuni mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.[18]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas,
sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindi,
al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazali (w. 1111
M), Ibn Bajah atau Avempace (w.1138 M), Ibn Tufayl atau Abubacer (w. 1185 M),
dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke,
al-Kindiberjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang
sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Farabi.
Al-Kindisangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama
pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para
teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[19]
Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih
terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam
dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa
sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian
besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan
disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya
pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris.
Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan
dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad
lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[20]
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama
yang menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya menggunakan
istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya
di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Agak
sulit menentukan garis batas yang jelas antara abad pertengahan, zaman
renaisans, dan zaman modern.Sementara orang menganggap bahwa zaman modern
hanyalah perluasan dari zaman renaisans.
C.
Konstruk ilmu
pengetahuan
Manusi diberi kelebihan yang tidak dimilikii oleh ciptaan lainnya, yaitu
akal. Akal inilah yang menuntun manusia untuk hidup sesuai dengan aturan dan
layaknya sebagai manusia. Ilmu menjadi salah satu penunjang akal yang akan
membimbing manusia pada fitrah dan kodratnya. Ilmu jugalah yang akan membawa
pada suatu kebenaran yang kenyataannya kebenaran tersebut bersifat relative.
Setidaknya, ilmu inilah yang akan menjadikan manusia dekat dengan kebenaran.
Bias diibaratkan kebenaran adalah suatu bangunan gedung yang megah, maka ilmu
inilah ibarat besi atau bahan-bahan yang menjadikan gedung tersebut bersifat
kokoh dan sebagaimana bentuknya.
Dengan demikian, jika kita ingin mengenal adanya kebanaran yang dibantu
oleh ilmu, maka konstruksi-konstruksi ilmu itu harus kita kuasai, begitu juga
dengan pengandaian suatu gedung tersebut bahwa untuk membangun gedung yang
megah dan bagus harus disertai dengan konstruksi-konstruksi bangunan yang kuat
dan mendukung bangunan tersebut. Akan tetapi, jangan disama ratakan bahwa kebenaran
ini harus berdasarkan ini, karena pandangan setiap manusi berbeda dan itu sudah
menjadi kewajiban bahwa memandang sesuatu tidak bias hanya pada satu sisi,
melainkan banyak sisi. Jadi obyek dari suatu ilmu oengetahuan yang sebenarnya
adalah suatu “pertanyaan” uang didasari rasa ingin tahu akan sesuatu tersebut.
Dari pertanyaan inilah yang akan membangun adanya ilmu pengetahuan yang sampai
sekarang berkembang pesat dan bermacam-macam cabang ilmu pengetahuaan.
Mepelajari
filsafat pendidikan islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar,
sistematis, logis dan menyeluruh (universal)tentang pendidikan, yang tidak
hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama islam saja, tetapi menuntut
kepada kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan.[21]Tradisi
filsafat apa pun dan di mana pun, adalah suatu berpikir dialektis dari tingkat
metafisis, teoritis, sampai pada tingkat praktis. Tingkat metafisis disebut
ontologi, tingkat teoritis disebut epistemologi, dan tingkat praktis disebut
aspek aksiologi atau etis. Jika diterapkan pada kegiatan pendidikan, aspek
ontologi berkaitan dengan keberadaan manusia, yakni berupa pandangan hidup atau
philosophy of life dari manusia sebagai pelaku utama pendidikan,
sedemikian rupa sehingga berpengaruh terhadap tujuan yang diinginkan dan
diusahakan untuk dicapai oleh manusia itu sendiri. Adapun aspek epistemologi,
menekankan pada keseluruhan upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan, yakni berupa aktivitas belajar dan mengajar, mendidik, membimbing,
melatih, menilai, dan lain sebagainya. Dan aspek aksiologi atau etis berkaitan
erat dengan nilai-nilai atau perubahan perilaku yang dihasilkan dari
keseluruhan proses/aktivitas pendidikan,yaitu berupa kematangan spiritual,
kematangan emosional,kematangan intlektual, dan keterampilan anggota badan.[22]
Ketiga aspek
filsafat pendidikan tersebut, saling berhubungan antarsatu dengan yang lainnya
secara kausalistik. Aspek ontologi mendasari aspek epistemologi, dan aspek
epistemologi memberikan jalan atau metode kepada aspek aksiologi, sedangkan
aspek aksiologi merupakan hasilnya.
Lalu apa
yang menjadi objek kajian filsafat pendidikan islam itu? Dari segi objeknya
setiap disiplin ilmu selalu dibedakan menjadi dua yaitu objek materi dan objek
forma. Objek materi merupakan bahan baku utama dari ilmu pengetahuan yang lebih
umum dan berdimensi makro. Adapun objek forma adalah sesuatu yang menjadi fokus
kajian (focuse of stuy) atau sudut pandang (point of view)
tertentu dari sesuatu hal, yang bersifat lebih spesifik, dan berdimensi mikro.
Objek forma inilah yang membedakan antara satu disiplin ilmu dan disiplin ilmu
lainnya.\
Objek materi
filsafat pendidikan islam adalah sama dengan objek materi filsafat maupun
filsafat islam yaitu segala realitas yang ada yaitu Tuhan, manusia, dan alam.
Baik ada yang bersifat fisik, empirik, maupun ada yang nonfisik, metafisik.
Adapun objek forma filsafat pendidikan islam adalah hakikat manusia dari sudut
pandang pendidikan islam (Islamic education point of view), sebagai
upaya mamnusia untuk memahami Tuhan, alam, dan manusia itu sendiri. sehingga
manusia akan dapat mengerti siapa Tuhannya, dirinya, dan alam semesta.
Secara lebih
terperinci dapat dijelaskan bahwa filsafat pendidikan islam berfokus pada
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pendidikan, diantaranya: Apa
sesungguhnya tujuan pendidikan islam itu? Dan pertanyaan turunannya: Apa
hakikat manusia? Bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan? Apa standar moral
yanng harus dipegang manusia?.[23]
[1] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Offset, 2002), cet. Ke-2, hlm. 128
[3] W. Montgomery
Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad
Pertengahan, hlm. 44-45.
[4] Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta :
Liberty, 19W. Montgomery Watt
[5] W.
Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa
Abad Pertengahan, hlm. 60-61
[6] Felix
Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 209-210
[7] Russell
Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno hingga sekarang, hlm 567.
[10] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu,(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2013 edisi
revisi), hlm.21-27. Berbeda
[11] George J.
Mouly, Perkembangan Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hakekat Ilmu,Jujun S. Suriasumantri, hlm. 87
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Offset, 2002), cet. Ke-2, hlm. 128
[16] W.
Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa
Abad Pertengahan, hlm. 44-45.
[17] Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta :
Liberty, 19W. Montgomery Watt
[18] W.
Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa
Abad Pertengahan, hlm. 60-61
[19] Felix
Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam,
(Bandung: Mizan, 2003), hlm. 209-210
[20] Russell
Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
dari Zaman Kuno hingga sekarang, hlm 567.
[21] M. Arifin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994)
[22] Suparlan Suhartono, Filsafat
Pendidikan, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 93-94
[23] Mahfud Junaedi, Paradigma
Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: kencana, 2017), hlm. 88-89

0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda